Langsung ke konten utama

Uban Sebagai Alat untuk Mendidik Hati | 2 Mei Hari Pendidikan Nasional

Rinai hujan mulai mereda, meski waktu telah memasuki siang, suara pengajian mulai terdengar dari toa masjid, udara masih menyisakan sejuk yang mengapit ke setiap ruang. Matahari tak lagi malu, dan sinarnya telah berani menyeruak masuk dari celah jendela rumah panggung kami. Momen ini sangat indah, terutama di Ramadan kali ini yang telah mengampu hari ke delapan pada tahun ini, 2020, 1441 H.

Kertas yang telah kutorehkan sketsa perpaduan seni abstrak dan kaligrafi seadanya, hampir selesai. Selain menulis, menggambar juga merupakan hobi saya. Sering kulamunkan tentang perjalanan hidup di dalamnya, lalu membagikannya, berharap bermakna pula bagi yang lain untuk mengambil pelajaran.

Tergugu sejenak, lama memandang dan mengamati sehelai uban pendek yang spontan kucabut, kemudian kusesali karena telah mencabutnya. Usia tiga puluh, sudah saatnya untuk mengambil dan mengutip intisari hidup yang berputar. Ujian silih berganti, sabar dan syukur yang terus dipupuk untuk menopang hati. Uban, ya uban. Tak sengaja menemukannya ketika menyisir.

Rambut orang Indonesia cenderung berwarna hitam. Tatkala usia semakin beranjak, produksi melanin pada rambut mulai berkurang, kadarnya semakin sedikit. Warna rambut yang semulanya hitam, secara berangsur berubah ke tahap menjadi kemerahan, abu-abu, dan kemudian menjadi putih. Ketika rambut menjadi putih, lumrahnya disebut uban.

Sejak seseorang mulai menyadari bahwa uban telah tumbuh, meski sehelai-duahelai di kepalanya, sungguh dengannya seharusnya untuk mengelola hati, menuju peningkatan jiwa yang lebih baik, mendidik diri agar tak lebih buruk dari hari yang sudah.

Uban bukan sekadar fenomena tubuh yang biasa, ada makna mendalam apabila disingkap. Uban akan menjadi cahaya di hari akhir kelak, menjadi saksi perjalanan hidup. Sebab, usia yang bertambah tidak menjamin seseorang dewasa dalam berkarakter. Bahkan ada remaja yang lebih bijaksana dari orang yang lebih tua, dari segi umur.

Masa Covid-19 seperti saat ini, kita hanya 'sedang' belajar dan tumbuh dari keadaan. Bukankah sesederhana itu menenangkan jiwa? Aktivitas fisik jangan sampai melupakan perjalanan batin. Mendidik hati, mengambil hikmah dari apa pun, termasuk dari sehelai uban.

"Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti halnya fisik, hati juga merasakan letih."  (Ali bin Abi Thalib)

Hikmah ibarat penopang batang yang lapuk dan mulai rapuh.*

Selamat Hari Pendidikan Nasional! Masa pandemi jangan sampai membuat diri kita tergerus melemah oleh keadaan, semangatnya harus diupayakan selalu sama, untuk meraih diri yang baik dalam hal dunia pun akhirat. Semoga Ramadan selalu membentuk hati kita lebih baik dari sebelumnya, insyaallah. Sebab, belajar tak hanya di 'sekolah', kehidupan adalah ruang lingkup belajar setiap saat. 

Momentum Hari Pendidikan Nasional ini sangat cocok bagi kita, khususnya diri saya pribadi untuk mendidik hati, mentarbiyahkan hati untuk membentuk kepribadian islami yang sempurna sebagai muslimah, baik di sisi ilmu nyata, iman, akhlak, sosial dalam  bermasyarakat dan sebagainya, dan naik ke tingkat  mendekati kesempurnaan sebagai manusia, yang kesempurnaan hanya milik Allah. Apalagi dengan apa yang telah saya pribadi renungkan dari sehelai uban tersebut, bahkan hanya dari sehelai uban siapapun dari kita dapat belajar. Belajar menata hati, belajar lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap, belajar mengelola kehidupan, sampai kehidupan rumah tangga bagi yang sudah menikah. Pendidikan melebur dalam segala aspek, setiap hari kita belajar, terus memperbaiki diri menjadi lebih pantas, jangan sampai Ramadan berakhir begitu saja tanpa dapat kita pelajari dari bulan yang mulia ini. Maka, yuk mengubah diri agar lebih baik dari sebelumnya! [RAn]


*
#inspirasiramadan #dirumahaja
#BERSEMADI_HARIKE-2
(BERkarya SElama raMadan di blog pribaDI)
Bersama #flp #flpsurabaya

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 Irama Bacaan Al-Qur’an

doc.animasipro | Rahma An *galeri Membaca Al-Qur’an dengan irama atau suara yang merdu dikenal dengan tilawah Al-Qur’an. Tilawah sudah dikenal sejak lama, yaitu membaguskan intonasi bacaan Alquran dengan menyertakan hati yang khusyuk. Membaca Alquran dengan indah akan lebih mudah dalam mendalami maknanya. Banyak pendapat ulama bahwasanya tilawah bukan sekadar membacanya dengan tartil, akan tetapi juga harus sesuai tajwid, makhraj, dan menyesuaikan dengan hukum bacaan. Tilawah adalah amalan yang dianjurkan, karena Allah menyukai orang yang membaguskan bacaan Qur’an-nya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an, Nabi berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari, Muslim) Seni suara dalam membaca Al-Qur’an telah turun-temu

BERSEMADI 20 Hari : Belajar dari Semut

Berawal dari salah seorang anggota di grup komunitas, yang membagikan informasi tentang adanya program BERSEMADI (BERkarya SElama raMAdan di blog pribaDI) oleh FLP Surabaya. Sembari melakukan aktivitas lain sebagai seorang istri, selama di rumah saja, dan ada beberapa program lainnya juga melalui daring. Saya ikut berpartisipasi dalam agenda BERSEMADI, setidaknya sambil rutin mengisi blog dan berbagi tulisan baik. Sebelumnya melalui proses pendaftaran dan sejenak melakukan diskusi, sebagai syarat keberlanjutan dan kelancaran program, bersama panitia. Menulis dengan tema yang ditentukan dan sama setiap harinya, harus disetor dengan batas waktu, selama dua puluh hari berturut-turut tidaklah mudah. Jauh lebih mudah ketika menulis dengan tema yang bebas dan tidak terikat, karena topik pembahasan yang sama selama hampir sebulan itu akan membuat pusing di antara kesibukan lainnya. Namun, semangat dan antusias teman-teman yang mengikuti adalah cambuk bagi kita semua untuk menuntas

Jenazah Positif COVID-19 Najiskah?

Tagar di rumah saja menjadi populer di berbagai penjuru media sosial saat ini, di tengah-tengah masih pro-kontranya masyarakat yang berusaha waspada atau yang terlalu santai. Covid-19 tak bisa dianggap angin lalu, wabah ini makin ke sini kian serius. Namun, bagaimana sikap terhadap pasien yang dinyatakan positif Corona ini? Ada beberapa komentar yang bergeming, bahwa penanganan pasien positif dianggap terlalu melebih-lebihkan seolah pasien tersebut najis. Jumlah penderita terinfeksi Virus Corona makin bertambah, ada yang berhasil sembuh dan bahkan meninggal dunia. Pihak medis Indonesia yang belum sempurna siap, baik dari segi alat maupun fasilitas yang ada, mengerahkan segala kemampuan mereka mempertaruhkan nyawa bahkan, sebagai garda terdepan. Tugas masyarakat adalah membantu mereka dengan ikut andil menghindari keramaian sebagaimana wacana dari pemerintah setempat, kecuali sangat perlu untuk ke luar (dengan kehati-hatian). Namun, masihkah ada yang belum mengetahui jelasnya ten