Langsung ke konten utama

Refleksi Pendidikan (Anak Istimewa) Indonesia | Opini


Indonesia mengalami perombakan kabinet pemerintahan berulang kali, salahsatunya dalam bingkai pendidikan. Masyarakat kita dihuni oleh hampir dari elemen masyarakat yang berkarakter ‘latah’, seolah segalanya sirna dengan waktu yang terus berpindah, konon lagi media daring yang semakin populer dan mengalami kemajuan berkala.

Dua Mei pun berlalu, sejumlah kalangan yang bergerak dalam bidang pendidikan memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), adalah agak sedikit berbeda dari penanggalan dan makna daripada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dari biasanya, karena kali ini pendidikan harus berada di tengah wabah Covid-19 dan memasuki pertengahan puasa Ramadan pula, dan di beberapa bagian wilayah Aceh sedang mengalami ujian tambahan yaitu banjir. Filosofinya amat dalam bagi rakyat Aceh, terlepas dari momentum tersebut, dahulu almarhum Prof Ali Hashimy yang pernah menjabat sebagai gubernur Aceh mengawalinya dengan pembangunan dan kemajuan pendidikan dengan didirikannya perguruan tinggi di kawasan Darussalam, pada tahun 1959 silam, yang didukung oleh segala lapisan masyarakat Aceh. Sepantasnya segala aspek masyarakat Aceh saling ikut serta dalam meningkatkan perannya untuk menunjang generasi dalam membangun kemandirian terutama di bidang pendidikan.

Usia negara yang memang mengalami perubahan dan perkembangan secara signifikan selama puluhan tahun. Puluhan tahun pula pendidikan Indonesia mengalami pergantian kurikulum, yang berulang kali diadakan pembaharuan atau penyesuaian. Sehingga generasi seolah diajak ikut serta untuk berpartisipasi tumbuh dalam kehidupan tanpa komitmen, prinsip dan visi-misi yang tidak teguh, tentunya ada alasan tersendiri dari pemerintah dan kementrian pendidikan tentunya.

Indonesia tidak hanya dihuni oleh generasi yang cerdas dan normal. Namun, dalam lingkungan generasi yang normal juga terdapat generasi yang dianugerahi kecerdasan di bawah rata-rata, dan bahkan sangat tinggi, terutama anak-anak berkebutuhan khusus, seperti Autisme. Belum lagi jikalau anak-anak tersebut terlahir dalam kondisi keluarga yang berstatus ekonomi rendah. Sehingga pada kasus peningkatan mutu pendidikan erat kaitannya dengan hasil akhir yang bertujuan meningkatkan taraf ekonomi setiap orang.

Orangtua yang menantikan kehadiran buah hatinya, tidak pernah paham akan dikaruniai anak yang cenderung punya tipe seperti apa. Ketika anak yang diidamkan lahir melihat dunia dan kelak akan membersamai pembangunan bangsa, yang mengalami kelainan atau gangguan saraf, tidak semua orangtua punya persiapan akan merawatnya secara layak. Ada yang menerima, ada yang syok dan tidak siap, hal ini dikhawatirkan akan melatarbelakangi terjadinya hal-hal tidak diinginkan lainnya, seperti pada kasus orangtua yang sanggup membuang dan menelantarkan anaknya.

Sebagai bahan refleksi bagi segenap masyarakat yang ikut andil dalam pendidikan bangsa ini, sudah menjadi keharusan yang patut untuk kita semua memantaskan kurikulum yang jelas dan tepat sasaran. Benar bahwasnya kurikulum hanya menjadi bagian luar (kulit) sistem pendidikan, dan kualitas guru yang paling berperan. Akan tetapi, guru tidak bisa dilalaikan terus menerus oleh perubahan kurikulum yang tidak menentu. Sudah pasti selama belajar dari rumah, orangtua dari anak istimewa dan berkebutuhan khusus lebih mempunyai peran dan tanggumgjawab yang lebih besar.

Guru punya tanggungjawab moril yang lebih luas, yaitu mencakup perbaikan mutu generasi. Tatkala guru terus diterjang dengan waktu, yang habis oleh perubahan kurikulum atau semacamnya, maka kesempatan guru untuk punya kejernihan berpikir akan lebih sedikit. Kejernihan berpikir yang dimaksud adalah dalam skala prioritas perkembangan peserta didik, telah dipangkas dalam fokus pembenahan kurikulum. Resikonya murid masuk dalam ranah yang akan terkena imbasnya, murid yang normal saja berpotensi tidak mampu, terlebih lagi terhadap kasus murid sebagai anak istimewa.

Ketersediaannya Sekolah Bagi Anak Istimewa
Tidak semua orangtua ingin anaknya yang berkebutuhan khusus dimasukkan ke sekolah yang memang dianggap khusus. Ada orangtua yang terjebak situasi dan kondisi yang mana tidak mempunyai peluang akses untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tertentu, misalnya karena faktor tempat tinggal yang tidak tersedianya sekolah semacam itu. Ada pula yang tidak ingin mengintimidasi anaknya menjadi larut dalam lingkungan yang serupa, sehingga ingin anaknya bergabung dalam kehidupan sekolah anak normal pada umumnya. Itupun apabila orangtua berperan untuk peduli dalam pemenuhan pendidikan anaknya. Disebabkan oleh karena faktor ketidaksiapan orangtua dalam menerima anaknya yang tidak sama dengan kelaziman anak normal lainnya, bisa jadi banyak orangtua yang tidak peduli akan nasib anaknya tersebut, padahal banyak anak-anak yang berkebutuhan khusus yang diperhatikan dan mampu menjadi kebanggaan bangsa karena prestasi yang tidak kalah menanjak daripada anak normal pada umumnya.

Resiko bagi guru, adanya kesusahan penyesuaian perhatian antara keseluruhan murid yang ada. Guru harus mengaplikasikan pengetahuan kepada seluruh murid yang rata-ratanya sekolah Indonesia setiap kelas mencapai puluhan jumlahnya, dengan jumlah waktu yang terbatas, dan jumlah guru yang tidak sesuai dengan kapasitas murid. Belum lagi ditilik dari hambatan kelancaran belajar-mengajar karena gangguan atau ejekan teman-teman sekelas yang mayoritas normal, terhadap anak yang berkebutuhan khusus tersebut. Sedangkan tahap evaluasi harus disuaikan dengan skala prioritas, belum semua orangtua mau mengkomunikasikan hal yang menjadi kendala anaknya.

Pihak sekolah punya standar kelulusan masing-masing dalam menerima murid yang akan dikelolanya. Namun, jika semua sekolah tidak menerima anak-anak yang tidak memenuhi standar syarat penerimaan, pun tidak semua wilayah mempunyai sekolah yang layak, maka nasib anak-anak seperti halnya yang disebutkan akan memperihatinkan. Negara kita tidak bisa membuang dan memusnahkan impian setiap generasi, karena pendidikan adalah hak setiap rupa masyarakat tanpa terkecuali. Tidak semua orangtua mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta atau pantas, ini tugas pemerintah dan seluruh aspek masyarakat yang mestinya turut andil dalam mengapresiasikan kerja nyata, tidak hanya terdiam dalam jebakan teori yang penting kerja lantas semuanya bisa mengikuti alurnya arus.

Anak Istimewa Katagori Autisme
Autisme atau masyarakat pada umumnya sering menyebut dengan Autis, merupakan kelainan pada perkembangan sistem saraf, mengakibatkannya sulit berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu mengekspresikan perasaannya dengan jelas, yang biasanya dapat diketahui saat usia bayi berusia lima bulan ke atas. Orangtua yang peduli akan dapat mendeteksinya lebih awal dan langsung akan mengupayakan terapi sejak dini. Anak Autis sejauh ini masih mampu mengikuti sekolah umum dan bersinggungan dengan anak normal lainnya. Hambatan yang dialami anak Autis yang ikut berpartisipasi dalam proses belajar-mengajar di sekolah umum, ikut dipengaruhi oleh unsur kewajiban sekolah dalam menjalankan kurikulum yang dicanangkan pemerintah.

Anak Autis bukanlah anak yang mengalami gangguan kejiwaan, melainkan anak yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya, sehingga sistem motoriknya tidak berjalan dengan sempurna. Akan tetapi, tulisan anak Autis terkadang lebih indah daripada anak normal kebanyakan jika sering dilatih. Tingkah lalu mereka bahkan dapat lebih santun dari anak normal pada umumnya, mereka akan ramah terhadap lingkungan terutama orang-orang yang mampu menempatkan mereka pada posisi tidak dalam tekanan emosional, terutama terhadap guru yang sangat memberikan perhatian kepada mereka.

Pertumbuhan tubuh mereka tetap sama dengan teman sebayanya, hanya saja mereka terlihat lebih lambat dalam penerimaan informasi. Kasus di lapangan, ada anak kembar identik yang sama-sama mengalami Autisme ini, dan mereka mampu saling membantu antara sesamanya, saling perhatian, dan saling melindungi bila ada teman yang mengganggu. Keluarga yang perhatian dan komunikasi yang baik dengan pihak sekolah, akan sangat membantu tugas guru di dalam kelas.

Besar harapan kita semua untuk turut serta memikirkan masa depan setiap anak, baik anak normal maupun yang berkebutuhan khusus seperti anak istimewa yang mengalami cakupan autisme. Sehingga tidak menambah beban guru dengan segala perubahan kurikulum yang tidak menolong sama sekali. Negara wajib merangkul setiap anak, yang menjadi generasi penerus kemajuan bangsa dalam segala bidang. [RAn]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 Irama Bacaan Al-Qur’an

doc.animasipro | Rahma An *galeri Membaca Al-Qur’an dengan irama atau suara yang merdu dikenal dengan tilawah Al-Qur’an. Tilawah sudah dikenal sejak lama, yaitu membaguskan intonasi bacaan Alquran dengan menyertakan hati yang khusyuk. Membaca Alquran dengan indah akan lebih mudah dalam mendalami maknanya. Banyak pendapat ulama bahwasanya tilawah bukan sekadar membacanya dengan tartil, akan tetapi juga harus sesuai tajwid, makhraj, dan menyesuaikan dengan hukum bacaan. Tilawah adalah amalan yang dianjurkan, karena Allah menyukai orang yang membaguskan bacaan Qur’an-nya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an, Nabi berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari, Muslim) Seni suara dalam membaca Al-Qur’an telah turun-temu

BERSEMADI 20 Hari : Belajar dari Semut

Berawal dari salah seorang anggota di grup komunitas, yang membagikan informasi tentang adanya program BERSEMADI (BERkarya SElama raMAdan di blog pribaDI) oleh FLP Surabaya. Sembari melakukan aktivitas lain sebagai seorang istri, selama di rumah saja, dan ada beberapa program lainnya juga melalui daring. Saya ikut berpartisipasi dalam agenda BERSEMADI, setidaknya sambil rutin mengisi blog dan berbagi tulisan baik. Sebelumnya melalui proses pendaftaran dan sejenak melakukan diskusi, sebagai syarat keberlanjutan dan kelancaran program, bersama panitia. Menulis dengan tema yang ditentukan dan sama setiap harinya, harus disetor dengan batas waktu, selama dua puluh hari berturut-turut tidaklah mudah. Jauh lebih mudah ketika menulis dengan tema yang bebas dan tidak terikat, karena topik pembahasan yang sama selama hampir sebulan itu akan membuat pusing di antara kesibukan lainnya. Namun, semangat dan antusias teman-teman yang mengikuti adalah cambuk bagi kita semua untuk menuntas

Jenazah Positif COVID-19 Najiskah?

Tagar di rumah saja menjadi populer di berbagai penjuru media sosial saat ini, di tengah-tengah masih pro-kontranya masyarakat yang berusaha waspada atau yang terlalu santai. Covid-19 tak bisa dianggap angin lalu, wabah ini makin ke sini kian serius. Namun, bagaimana sikap terhadap pasien yang dinyatakan positif Corona ini? Ada beberapa komentar yang bergeming, bahwa penanganan pasien positif dianggap terlalu melebih-lebihkan seolah pasien tersebut najis. Jumlah penderita terinfeksi Virus Corona makin bertambah, ada yang berhasil sembuh dan bahkan meninggal dunia. Pihak medis Indonesia yang belum sempurna siap, baik dari segi alat maupun fasilitas yang ada, mengerahkan segala kemampuan mereka mempertaruhkan nyawa bahkan, sebagai garda terdepan. Tugas masyarakat adalah membantu mereka dengan ikut andil menghindari keramaian sebagaimana wacana dari pemerintah setempat, kecuali sangat perlu untuk ke luar (dengan kehati-hatian). Namun, masihkah ada yang belum mengetahui jelasnya ten