Hari ke lima belas di
Ramadan kali ini, bahkan sahur pun kami tak tenang menikmati, tidur tak mampu
nyenyak, hujan deras terus belum berhenti dalam acuan reda. Halaman dan
pekarangan sekeliling rumah telah banjir, beberapa senti lagi kemungkinan akan
masuk ke dalam rumah, jika terus saja tumpah air dari langit. Bahkan ada
beberapa rumah lainnya yang sudah masuk ke dapur mereka. Biasamya sederas
bagaimana pun, air hanya tergenang di halaman saja, kecuali masa banjir bandang
kiriman dari wilayah yang berbeda.
Belum lagi jemuran yang
belum jelas kapan keringnya, padahal yang kotor lainnya pun sudah mulai
menumpuk lagi. Berita masih terus saja membahas tentang wabah Covid-19 yang
belum diketahui kapan berakhir. Ada pula berita bayi yang diduga meninggal
karena ditelantarkan oleh pihak rumah sakit, karena efek antisipasi pandemi,
sedih sekali membaca postingan orangtuanya yang terpukul kehilangan anaknya
yang cantik itu yang baru memasuki usia satu bulan, kecewa karena
ketidakpedulian rumah sakit. Ikut merasakan bagaimana kehilangan anak, karena
kami pun pernah mengalaminya, saat ini hanya dapat memeluknya dalam doa. Beredar
pula kabar, YouTuber yang membuat konten ‘prank’ melebihi ambang batas etika,
yang mana memberikan kotak bantuan sembako yang isinya katanya adalah makanan,
padahal isinya adalah sampah dan batu bata, kepada orang yang ditemukan di
jalan. Padahal masa seperti ini setiap orang di segala aspek sedang kesusahan,
sangat bahagia apabila ada bantuan, namun ternyata masih banyak yang tidak peka,
tidak peduli, bahkan seperti hilang hati nuraninya.
Konon lagi, pihak
Perusahaan Listrik Negara, yang dikabarkan banyak media berita daring yang
valid, dikeluhkan oleh banyak masyarakat, menaikkan harga tanpa pemberitahuan,
tunggakan listrik bagi pelanggan mencapai hampir tiga kali lipat dari biasanya,
alasannya karena di rumah saja maka pemakaian arus listrik lebih tinggi, entah
hasil penelitian darimana yang diambil mereka. Bahkan kami sendiri merasakan
dampaknya, sebenarnya makin dalam kondisi seperti ini, kami pribadi makin hemat pemakaian listrik, rata-rata pengakuan seperti itu, namun bagaimana bisa disamaratakan
kenaikan drastik tak berperasaan seperti itu. Ketika banyak orang dirumahkan,
banyak orang kehilangan pekerjaan, tambah lagi semua serba mahal, dan masih
dalam kasak-kusuk kehati-hatian untuk meminimalisir wabah, serasa dicekik dari
segala arah. Kemudian ada pemberitaan yang menginformasikan, bahwa Presiden menyatakan bahwa rakyat harus berusaha berdamai dengan wabah, bagaimana mungkin
seorang kepala negara sampai hati berkata seperti itu? Entah apa yang
melatarbelakangi pemimpin sehingga keluar kalimat yang sangat sensitif di
tengah keadaan seperti ini, mungkin memang ada alasan tertentu yang kita hanya mampu menerka-nerka.
Rakyat dipangkas perekenomian dari segala
bidang, banyak pejabat yang bahkan mengangkat tangan tak ingin mengambil
bagian, meski banyak lembaga sosial lainnya bersatupadu bergerak untuk
kemanusiaan, sungguh simpati dan empati sebagian orang kaya dan pejabat telah
hilang. Rakyat dianjurkan di rumah saja, akan tetapi setelah banyak kehilangan pemasukan demi pemenuhan kebutuhan tuntutan hidup, malah semakin dicekik. Bahkan untuk menulis segala keluhan, agar pemerintah berupaya adil dan merata, rakyat harus khawatir agar tidak dipolisikan, suara rakyat telah dicekal dalam tanda kutip, atau mungkin sekilas bahwa rakyat yang hanya terlalu membawa ke perasaan dan bodoh dengan sistem pemerintahan.
Berpaling dari segala
beban di atas, yang belum utuh semua dijabarkan, narasi ini ingin saya alihkan
ke muhasabah diri dan bersama. Sungguh kerusakan di bumi ini adalah ulah tangan
kita juga sebagai manusia. Banyak aturan baik yang kita langgar, dan yang
dilarang malah abai dan dengan jelasnya melaksanakan. Saat kita beribadah tak
lagi karena mengharap ridha Sang Pencipta, kita hanya melakukan serangkaian
amalan hanya untuk ingin terlihat baik di mata manusia yang lain mungkin, karena
itu hanya karena kebiasaan turun-temurun mungkin.
“Celakalah orang-orang
yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya.” ( QS Al-Ma’un : 4-5)
Salat adalah hal
pertama yang kelak akan dihisab, dipertanggungjawabkan ke hadapan Allah. Jika manusia
yang mengaku beragama Islam salat dengan benar, maka akan benarlah apa-apa yang
dilakukan di kehidupan sehari-hari, pun sebaliknya. Bagaimana mungkin manusia
dapat menjalankan hal baik dengan benar terhadap sesama manusia, jika kepada
Tuhan yang Maha Esa saja tak bisa menjalankannya dengan benar. Demikian halnya
pula dengan ibadah puasa, apabila hanya sekadar menahan lapar dahaga saja,
tanpa memahami makna yang jauh lebih dalam dari puasa itu sendiri, maka nihil. Mengejar
sepuluh terakhir Ramadan akan tidak ada hikmahnya bagi manusia yang tidak ingin
mengutip pembelajaran dari kehidupan yang sementara ini. Bersabar dan bersyukur adalah tameng untuk mengelola hati dengan segala kondisi saat ini, dan terhadap segala ujian yang lainnya, semoga. [RAn]
*
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#BERSEMADI_HARIKE-8
Bersama #flp
#flpsurabaya
Komentar
Posting Komentar