FIKSI RELIGI
Bertajuk : Irsyad (Petunjuk)
Oleh :
Lampu temaram, ruang kamar yang sempit di kontrakannya, tertatih menahan
sakit lelaki ini berusaha bangkit untuk ke kamar mandi, membasahi tubuhnya
tanpa menggunakan sabun, lalu melanjutkan berwudhu.
Jam dinding
menunjukkan angka tiga lewat lima belas, dini hari. Kali ini Irsyad hanya mampu
melaksanakan dua rakaat saja tahajudnya. Kakinya sudah tak kuat menopang tubuh
terlalu lama, setidaknya sudah mendingan dari dua bulan yang lalu pasca
kecelakaan tabrak lari.
Dulu, dia punya istri
yang cantik dan pekerjaan yang layak menurutnya, sebagai model majalah dewasa,
mengumbar otot-ototnya yang kekar. Ya, KTP-nya bertuliskan agama Islam, namun
jangan pernah membayangkan dia dan istrinya melaksanakan perintah Allah. Setiap
ada nasehat orang untuknya, dia selalu merutuk dan menjawab "Urusi urusanmu
sendiri, jangan sok tau dan menilai urusan akhirat-ku!"
Seandainya dia tahu
sejak awal, bahwa dalam Islam ada perintah amar makruf nahi mungkar, ada dakwah
dan saling mengingatkan antar sesama, hatinya mungkin tak akan tertutup sekian
lama dari hidayah.
Penyesalan selalu
datang terlambat, setelah istri cantiknya pergi meninggalkannya tanpa kabar,
dengan membawa semua hartanya, dan dia harus menjual rumahnya untuk menutupi
hutang, sebab tak ada lagi agensi yang mau menerimanya sebagai model.
***
Subuh, dalam gerimis,
dia linglung akan berteduh di mana, dari sisi kiri pelataran jalan dia melihat
sebuah surau yang perlahan jamaah pulang satu-persatu. Dia bersembunyi di balik
pohon, memastikan kondisi surau telah sepi, perasaan malu menjalar dalam
sanubari terdalamnya.
Ternyata masih ada
seorang lagi yang belum pulang, masih khusyu' duduk bersila dengan bibir yang
menandakan sedang melanjutkan zikir. Bapak yang terlihat janggutnya tak lagi
hitam sehelai pun, duduk di sajadah imam.
Pak Imam berhenti
sejenak, melihat ke belakang, lalu kiri-kanan, mencari suara parau lirih orang
yang meratap dan menangis. Di saf paling ujung belakang tiang surau, di balik
rak kitab, Pak Imam menemukan seorang lelaki yang belum pernah ia kenal. Pak
Imam bangkit, dan mendekatinya.
"Salam'alaikum,..."
Sapa Pak Imam.
"E..e...'alaikum
salam,..." Jawabnya terbata.
"Boleh saya tahu,
siapa gerangan Fulan ini? Dan kiranya ada hal apa yang tertoreh di hati anakku
ini?" Pak Imam, duduk di sampingnya seraya menjulurkan tangan tanda hendak
berjabat.
"Irsyad,
Pak." Ia merasa malu, karena ada orang yang menemukannya menangis
memilukan seperti itu. Tangannya secepat mungkin melap air mata, dan meraih
tangan Pak Imam.
"Masya’allah,
nama yang bagus, artinya 'petunjuk'. Pasti ada doa dan pengharapan dari orangtua
ananda yang begitu mendalam kala menyematkannya."
Spontan saja Irsyad
tak lagi mampu menahan tangisannya, pecah, seraya mengutuk dirinya sendiri yang
selama ini penuh dalam kubangan dosa. Sekian lama hidayah datang silih berganti
dari mulut ke mulut, menasehatinya, bak gayung tak bersambut, dia benar-benar
menutup pintu hatinya sekian lama dari kebenaran yang ada di depan mata.
Imannya telah lama mati, hanya karena merasa bahwa jika telah beragama Islam
sudah pasti dijanjikan surga meski dilemparkan terlebih dahulu ke neraka.
Sungguh pemahaman yang salah.
Dia selalu membenarkan
dirinya, bahwa ia telah berbuat baik dan royal terhadap teman-temannya, maka ia
tak perlu lagi merasa berat meninggalkan salat. Bahkan dia bangga, punya istri
cantik dan tak pernah cemburu mendapati temannya memerhatikan paha istrinya
yang putih mulus, dalam balutan gaun pendeknya yang seksi.
Tanpa menunggu lama,
ia pasrah menceritakan masalalunya yang kelam kepada Pak Imam. Pak Imam amat
sabar mendengarkan, dengan penuh khidmat ikut merasakan kisah demi kisah yang
sedang diperdengarkan kepadanya.
"Nak Irsyad.
Allah adalah Sang Maha Pengampun lagi Pemaaf, Maha Penerima Taubat. Taubat yang
benar-benar diniatkan tidak mengulangi segala hal yang berbuah dosa, hal yang
dilarang dalam Islam. Agama yang kita yakini ini, tidak serta-merta cukup
dengan kesenangan dunia, ada akhirat sebagai tujuan utama. Setiap orang punya
ujian masing-masing, tergantung kita apakah menutup diri dari hidayah atau
menyambutnya." Perlahan nasehat Pak Imam kepadanya, sambil menunduk dan
menahan diri agar tak terlihat menggurui.
"Ada ajakan
lembut dalam dakwah, ada pula yang tegas." Lanjutnya lagi.
Kemudian Pak Imam
menutupnya seraya menghela napas, "kecuali jika Allah tak lagi peduli
dengan kita, benar-benar meninggalkan kita, kita terlalu lena dengan dunia ini
yang sementara, gemerlapnya membutakan jiwa, sehingga dalam kesenangan semu ini
tanpa menyangka napas kita telah berada di kerongkongan, tanpa punya kesempatan
untuk sekadar mengucap istighfar."
****
Semenjak perjumpaannya
dengan Pak Imam, lelaki itu telah mengubah dirinya secara total. Irsyad telah
menemukan petunjuk yang tak semua orang mau mengambilnya.
Ya, di sinilah ia
kini, di kamar kontrakan yang sempit, mengobati tubuhnya yang mulai mendekati
sembuh dengan hati yang baru, hati yang benar-benar berusaha menjadi pribadi
yang mendekati benar dan lurus dalam Islam. Tak sekadar Islam di bibir jika
ditanyai orang "Apa agamamu?"
Pak Imam memberi tugas
untuk mengurus pakan ternaknya, jadi setiap pagi dan sore Irsyad menyabit
rumput di kebun yang sengaja dirawat oleh keluarga Pak Imam, untuk makanan
kambing-kambingnya. Susu kambing dijual ke pasar atau dikonsumsi sendiri,
seringnya dibagi-bagikan ke tetangga, dan kambing-kambing dijual untuk
permintaan akikahan atau qurban dan lainnya. Pekerjaan itu mendapat upah yang
cukup membayar kontrakan kecil dan memenuhi kebutuhannya yang seorang diri.
Diam-diam putri
tunggal Pak Imam sering memperhatikannya. Ada rona hangat menyusup begitu saja,
Isyana sering beralasan hendak membersihkan kandang kambing-kambing kepada
Umak, dan Apaknya. Terlebih lagi Pak Abdu sedang pulang kampung mengunjungi
istrinya yang melahirkan, jadinya Isyana ada kesempatan untuk menggantikan
tugas Pak Abdu.
Entah sejak kapan?
Yang jelas ketika itu, Isyana mendapati Irsyad yang menjaga pandangannya tanpa
menoleh ke arah Isyana, tatkala Pak Imam membawa serta Irsyad pulang ke rumah
saat kembali dari surau. Isyana dimintai tolong menyeduh teh untuk tamu Apaknya
itu.
Irsyad tak lagi
terpikir sedikitpun tentang wanita, semenjak berniat berubah untuk taat, dan
statusnya yang ditinggalkan begitu saja oleh istrinya, membuatnya enggan untuk
kembali mengingat pernikahan. Cukuplah kehidupan yang dijalaninya sekarang,
benar-benar tak lagi ada Irsyad yang dulu.
Ia telah memutuskan hubungannya dengan masa lalu, yang dipikirkannya adalah bagaimana keadaannya mendatang jika tetiba nyawanya benar-benar pergi, tak lagi terselamatkan kedua kali seperti pasca kecelakaan. Maka tak ada Isyana atau siapapun yang terpikir olehnya jikapun mencari-cari perhatiannya.
Ia telah memutuskan hubungannya dengan masa lalu, yang dipikirkannya adalah bagaimana keadaannya mendatang jika tetiba nyawanya benar-benar pergi, tak lagi terselamatkan kedua kali seperti pasca kecelakaan. Maka tak ada Isyana atau siapapun yang terpikir olehnya jikapun mencari-cari perhatiannya.
****
Berteduh di bawah
pohon adalah salahsatu rutinitas Irsyad usai menyabit rumput. Kemeja luarnya
dilepas untuk dipakai mengipasi dirinya agar tak terlalu gerah. Keringat yang
keluar terasa lebih berkah baginya, dibanding saat nge-gym dulu karena kagum
terhadap otot-otot dan perut petak-petaknya, yang sering dipuji banyak junior
di timnya.
Sepintas dia mengarahkan pandangan ke atas pohon mangga yang mulai
berbunga, lalu berlalu pandangannya menuju jalan setapak ke arah ujung dusun.
Terlihat olehnya abang tukang bakso hampir hilang di belokan jalan.
Sekejab dia bergegas bangkit, setengah berlari,
tertatih menahan kakinya yang masih ngilu, sakit terasa ketika berubah posisi,
memanggil kang bakso. Untung saja kang bakso masih terang pendengarannya, ah
bukan, inilah yang dinamakan masih sama-sama rejeki.
"Pesan mie baksonya seporsi ya, Bang. Pakai
bihunnya saja, tanpa mie kuning. Bungkus." Tuturnya.
"Nggak suka mie kuning-kah?" Tanya kang
bakso melepas senyum, mencairkan suasana.
"Hehe, berhubung tadi siang Bu Halimah membagikan
masakan mie gorengnya ke saya, Bang. Ada wirid di rumahnya."
"Oh iya, Bang, saya pesan sebungkus lagi, tapi
terserah bagaimana pesanan pelanggan Abang saja, nanti kalau ada orang yang mau
beli ke Abang setelah saya. Saya bayar sekalian dengan pesanan ini."
"Lagi ada rejeki lebih ya?" Tanya kang bakso
senang.
"Ingin berbagi saja, Bang. Pintu rejeki malah
jadi lebih luas kan ya? Pun dagangan Abang semoga bertambah pembeli. Syaratnya
Abang jangan menyampaikan bahwa saya yang berbagi, katakan saja Abang yang hendak
memberi cuma-cuma untuk satu pembeli yang beruntung." Jawabnya melepas
seulas senyum.
"Saya sudah jarang mangkal di kawasan ini, eh
sesekalinya lewat malah bertemu orang baik. Orang baru ya, Bang? Saya belum
pernah lihat." Seloroh kang bakso.
"Orang lama, Bang, sudah bau tanah. Tapi di
belahan kota lain, baru merantau ke mari." Balasnya garing sembari
tertawa. "Ini, uangnya ya, Bang, makasih."
"Oh, yaya, sama-sama, makasih juga sudah membeli
dagangan saya, sepi hari ini, sering laris kalau cuaca lagi hujan." Jawab
kang bakso sambil beranjak naik ke atas sepeda gerobak dagangannya.
Irsyad membawa bungkusan mie baksonya, dan tangan
sebelahnya lagi, memangku segoni besar rumput yang terakhir. Sore ini dia hanya
punya lima goni rumput untuk pakan kambing keluarga Pak Imam. Karena sisa
rumput tadi pagi belum habis. Langkahnya menuju ke kandang kambing di sebelah
kebun rumput.
***
"Bang Irsyad, Bang Irsyad!" Panggil Ubay
anak Bu Halimah seraya berlari ke arahnya.
"Ada apa?"
"Ini ada mie bakso pemberian Kak Isyana. Ubay ada juga nih."
Hebohnya, saking bocah ini kegirangan.
"Oh, alhamdulillah, abang sudah ada ini." Sambil menenteng
bungkusan miliknya. "Berikan untuk adikmu saja, agar sama-sama penuh
sebungkus."
"Horee! Makasih, Bang Syad." Kemudian dia
berlari kencang hilang dari pandangan, buru-buru mencari adiknya.
**
Isyana masih menikmati semangkuk baksonya. Bakso
gratis dari kang bakso, dia terkesima kang bakso menolak uang darinya. Akhirnya
ia memutuskan membeli dua porsi lagi untuk Ubay, anak tetangganya yang baru
pulang main kelereng, dan meminta tolong diberikan kepada Irsyad seporsi lagi,
karena Ubay mengarah ke kali melewati kebun rumput, katanya sandalnya
ketinggalan saat menjaring ikan di sana.
Masih terngiang di hatinya perkataan kang bakso,
"Terima saja, nggak baik menolak rejeki, sedekah ini nantinya malah
meluaskan rejeki dagangan saya." Yang sebenarnya disadur dari kalimat
Irsyad, dan Isyana tak tahu-menahu jika sebenarnya bakso yang akan dibaginya ke
Irsyad adalah darinya (Irsyad). Benar memang sedekah membuat rejeki lebih
berkah dan kebaikannya akan kembali kepada pemberinya.
Isyana masih menaruh harapan kepada Irsyad, dalam
doanya dia berharap bahwa getaran yang dirasakannya bersambut baik. Kendatipun
usianya sudah layak untuk menikah, tak ada yang berani untuk melamar anak Pak
Imam itu, pemuda desa terlalu segan terhadap keluarga Pak Imam, meskipun banyak
yang jatuh hati pada anak Pak Imam yang berkerudung lebar tersebut. Mungkin
mereka malu karena belum sepadan dengan Isyana, dan pemuda desa sangat menaruh
hormat kepada keluarga Pak Imam.
Wajar, suasana Desa Babarisan masih kental dengan
khasanah moral. Masyarakatnya belum terlalu mengenal, atau lebih tepatnya tak
terlalu antusias terhadap kehidupan perkotaan. Mereka lebih memilih bertani dan
dijual ke pasar kota, lalu sorenya selepas berjamaah magrib, mereka ada
pengajian kitab rutin bersama Pak Imam di surau.
***
Jauh nun di sana, Tania melepas tawa besar dengan
Ricard. Dia kabur dari Irsyad hanya untuk bisa menikah dengan teman mantan
suaminya itu. Kalap dengan janji akan dijadikan pemain utama dalam film terbaru
yang dikelolanya. Ya, Richard adalah sutradara yang disukai banyak aktris
bimbingannya. Wajahnya tak kalah menarik dari Irsyad.
Mereka sedang makan malam di sebuah restoran,
merayakan pernikahan ke satu bulan pertama mereka. Ada rahasia yang tak seorang
pun ketahui, yang disimpan erat Richard. Sudah lama ia menyukai Tania, berawal
dari perkenalan saat Irsyad mengenalkan istrinya itu kepada Ricard. Namun,
rasanya nihil, karena mereka adalah pasangan yang susah dipisahkan, sebab
mereka selalu jadi top satu pasangan teromantis di agensi miliknya.
Malam itu, Richard terus membuntuti Irsyad yang
sendirian di trotoar depan BigBos-Gym langganannya. Nahasnya, sebelum ia beraksi
menjalankan niat jahatnya, ada motor besar yang seperti sengaja menabrak Irsyad
dari belakang. Pengemudi motor mengenakan jaket dan busana komplit serba hitam,
dan langsung tancap gas. Richard kaget, dan memutar haluan untuk kabur,
membiarkan temannya itu teronggok tak sadarkan diri.
Setidaknya dia sekarang mujur, mendapatkan Tania tanpa
kesusahan. Pergaulannya dengan perfilm-an membuatnya sering gonta-ganti pacar.
Baru kali ini ada hasrat untuk serius dengan Tania.
****
Toa surau melantunkan bacaan Almu'minun, pertanda tak
lama lagi azan magrib berkumandang. Irsyad bergegas hendak membersihkan diri,
dan berangkat ke surau untuk berjamaah. Setelah bertemu Pak Imam dan tinggal di
sana, pikirannya lebih tenang, rasanya seolah tak ada lagi keinginan untuk
kembali ke kota, dan mencari pekerjaan yang lebih besar gajinya dari upah
bekerja dengan keluarga Pak Imam.
Memang benar kata Apaknya Isyana itu, pertemanan dan
lingkungan mempengaruhi kebiasaan dan jalan pikiran. Benar-benar tak ada lagi
ruang cinta di hatinya untuk wanita. Hidupnya telah diniatkan fokus untuk
ibadah. Meskipun Pak Imam pernah berkata kepadanya, "Nak, menikah juga
ibadah yang paling lama, setiap harinya terus berbenah dan istiqamah."
Namun, rasanya nihil sudah kalimat itu baginya. Traumanya dengan Tania seakan
begitu dalam, karena Tania adalah cinta pertama baginya.
Bagaimana dengan Isyana yang begitu berharap di setiap
doanya?
****
Bulir bening berjatuhan
di pipi Isyana, beberapa hafalannya ambyar, samar terlupa. Memang penghafal
Qur'an harus banyak pantangan, demi menjaga hafalannya.
Mencintai adalah fitrah manusia, namun Allah 'cemburu'
jika hamba-Nya lebih cenderung mencintai makhluk. Hati Isyana terasa sesak,
merasa berdosa karena sedikit celah berbuat khilaf. Hanya sekadar mencintai
Irsyad olehnya, diam-diam, maka beberapa hafalannya harus diulang-kaji.
Sejak malam itu, Isyana lebih banyak diam. Memberi
peluang bagi hatinya agar sembuh, merogoh kembali perasaannya agar tidak
terlanjur-puruk lebih dalam. Ia tak ingin bergerak lebih jauh, takut tak
sepadan dengan harapan.
***
Isyana usai mengerjakan salat dhuha, ia sadar akan makna
dhuha, waktu Istimewa. Allah bahkan bersumpah akan waktu dhuha. Ia menangis
lagi, meresapi keindahan tentang turunnya surat tentang dhuha, di mana
Rasulullah sedang dalam ujian, ujian kerinduan.
Lama rentang masa, tak lagi kembali hadir wahyu untuk
Baginda. Sampai semua pembenci menghujatnya, "Mana yang katanya Allah
tuhan-mu? Kau ditinggalkan, Muhammad ditinggalkan tuhannya!" Begitulah
sejenis olok-olokan, ejekan, cemoohan, terpingkal musuh merundung Baginda.
Lantas hadirlah jawaban Allah, dengan penekanan bahwa rindu itu adalah berbalas
cinta dalam cahaya dhuha.
Runtuh segala pelik Isyana, hatinya mulai berdamai. Ia
merapikan sajadahnya, dan ingin kembali memberi ruang rindu, tapi rindu yang
lain, rindu yang tak lagi sama. Ya, membiarkan rindunya yang berlalu bersama
takdir.
****
Sembari menyeruput teh hangat, Isyana duduk di teras
rumahnya, mungkin lebih tepatnya milik Apak Umaknya, menikmati pagi yang
semakin menghangat pula.
Ubay dan bocah lainnya melintas jalan setapak rumah Pak
Imam, sambil terbahak-bahak. Perumahan di desa Babarisan masih asri, tanpa
pagar tinggi-pemisah antara rumah penduduk satu dengan lainnya. Rumah warga tak
terlalu berdekatan, berjarak beberapa pohon kapas di antaranya.
"Ubay! Sini!" Panggil Isyana penasaran.
"Eh, Kak Isyana manggil tuh! Yuk ke sana dulu."
Ajak Ubay ke teman-temannya, memutar langkah.
"Bahagia gitu tampaknya? Bagilah cerita ke
akak." Susul tanya dengan penuh selidik.
"Haha, si Ipul, Kak. Mandi di kali nggak lihat
kiri-kanan, dicolek emas* batangan milik Surya yang lagi mulas perutnya,
hahaha." Antusias kurr tawa dari yang lain, menyusul cuwitan Ubay.
Tawa Isyana pecah, tangannya langsung menutup mulutnya
yang mengulum tawa agar tak terlalu besar, "Allahu, ada-ada saja kalian.
Pulang gih sana, pada mandi semuanya di rumah, yang bersih. Mentang-mentang
hari Ahad." Ditutup senyum manis.
"Isyana, sini Nak sebentar!" Panggil Umak
lembut dari dapur.
"Eh, ini opak untuk kalian, bagi-bagi ya. Ingat
jangan dihabiskan di jalan." Cemilan Isyana ludes seketika, dibagikan
semuanya ke bocah-bocah.
Sambil berlalu masuk ke rumah, Isyana masih sempat
mengelus kepala Ubay, anak yatim yang patuh itu. Rasa sayangnya ke Ubay dan
adiknya amat besar, seperti adiknya sendiri.
"Makasih, Kakak. Dah...." Bocah-bocah berlalu,
meneruskan guyonan mereka.
"Siapa, Sya?" Tanya Bu Nur.
"Biasa, Umak. Ubay dan lainnya."
"Umak, ada apa?"
"Eh, ya. Pak Abdu sudah balik. Nanti sore tak usah
ke kandang ya."
"Baik, Umak."
"Wah, jadi opak-opak ini dari Pak Abdu-kah?"
"Iya, Sya. Bikinan anak Pak Abdu yang sulung, mereka
usai panen singkong. Sekalian dibawakan untuk kita."
"Kabar istrinya dan bayi Pak Abdu, baik kan,
Umak?"
"Alhamdulillah, baik, begitu kata Pak Abdu."
Jawab Umak, sambil tangannya terus membersihkan daun singkong, dari Pak Abdu
juga. Mau disayur bening.
****
Mata Irsyad terus menelisik bayangan seseorang, seperti
pernah dikenalnya dekat. Akan tetapi, orang tersebut benar-benar hilang di balik
deru motor yang lalang. Motor pun sepertinya bukan dari warga desa, tak ada
yang punya motor seperti itu, semua bersepeda atau lebihnya berjalan kaki.
Ingatannya kembali ke masa lalu, di mana ia kabur dari
panti asuhan. Sering diejek gendut oleh anak-anak lainnya membuat ia tak tahan
lagi, Irsyad labil dan menyelinap dari pagar belakang bersama Taufik. Berandal
jalanan yang disergap petugas lalu lintas, kedapatan mengendus lem, setelah
direhab Taufik jadi bagian dari Panti Asuhan Bakti Asih.
Beda dengan Irsyad yang dibawa ke sana karena tak lagi
ada yang mengasuh, ayahnya yang anak tunggal telah almarhum, menyusul ibunya
yang meninggal manakala Irsyad masih terhitung bulan.
Wajar saja, Irsyad sangat antusias membentuk badannya
dengan baik. Dulu bernafsu sekali meningkatkan kualitas latihan demi menjadi
model unggul dari timnya. Semua tinggal sejarah pelik baginya.
****
"Aku sudah mencari
ke mana-mana, nggak nemu si Irsyad brengsek itu! Bruk!!" Sungut Erick,
sambil memukul meja.
"Kamu yakin dia masih hidup?" Tanya Taufik
penasaran. Sebulan ini dia masih mutar-mutar dalam komplek, pusing tak ada
kerjaan, pasca bebas penjara. Belum hilang candunya dari zat terlarang itu.
"Si Tania pun kurang ajar. Bayaran kita nggak ada
bonusnya. Padahal aku kerja ekstra dengan menyembunyikan diri, dari polisi yang
terus menyelidiki."
"Ancamanku untuk mengaku ke Irsyad pun nggak
digubris sama wanita tengik itu, sialan!" Lanjut Erick semakin tak mampu
menahan luapan emosinya.
**
Sejak pertengkaran Tania dan Irsyad suatu malam, ia
mencari cara untuk pisah dengannya dengan alasan yang bagaimanapun itu.
Bermula dari Irsyad mengajak mulai program, cintanya kepada Tania membuatnya tak sabar untuk punya anak bersama Tania. Justru menyulut percekcokan rumah tangga mereka, yang selalu dikesampingkan jika sedang di luar, agar publik selalu melihat betapa romantisnya mereka.
Bermula dari Irsyad mengajak mulai program, cintanya kepada Tania membuatnya tak sabar untuk punya anak bersama Tania. Justru menyulut percekcokan rumah tangga mereka, yang selalu dikesampingkan jika sedang di luar, agar publik selalu melihat betapa romantisnya mereka.
Tania masih belum ingin punya anak. Ia tak siap
tubuhnya menggelambir, karirnya sedang menanjak. "Yasudah, jika kamu masih
ngotot dengan maumu, kita cerai saja. Ceraikan aku!"
"Sayang, kamu tahu kan aku sungguh mencintaimu?
Haruskah kita cerai hanya karena ini? Baiklah aku minta maaf." Irsyad
berusaha memeluk Tania, namun tangannya ditampik.
Tania mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Irsyad
seorang diri. Malam itu ia ke klub lantas menginap di hotel, dan berhari tak
pulang ke rumah. Air matanya menetes, ambisinya menyeruak, hatinya yang masih
cinta terhadap Irsyad dikesampingkan, egonya kepada karir lebih tinggi.
"Aku harus pisah darinya bagaimanapun caranya." Lirihnya sambil
mengepalkan tangan.
****
Siang itu Irsyad izin ke Pak Imam, selama tiga hari,
hendak berangkat ke kota, menziarahi makam kedua orangtuanya. Kakinya pun butuh
diperiksa kembali ke dokter yang lebih mengerti, di desa tak cukup alat atau
orang yang mumpuni, pun puskesmas di desa tak selayaknya di kota.
"Iya, pergi saja, Nak. Pak Abdu kebetulan sudah
balik. Jadi sekalian mengurus kebersihan kandang, dan membantu melanjutkan
pekerjaanmu selama beberapa hari." Pak Imam merogoh sakunya.
"Ini terimalah, semoga sedikit mampu mencukupi
kebutuhan ananda Irsyad selama di sana."
"Tak mengapa, Pak. Saya ada tabungan sedikit,
kiranya cukup." Kedua tangannya mendekap dengan maksud meminta maaf, atas
kelancangan menolak bantuan Pak Imam, yang telah dianggap pahlawan sekaligus
ayahnya selama ini.
"Baiklah, maafkan juga bapak, jika tak sopan
ingin membantu." Seraya tangannya mengelus punggung Irsyad, yang juga
telah dianggapnya seperti anaknya.
Pak Imam dan Bu Nur memang hanya punya Isyana yang
menjadi anak semata wayang. Jadi hadirnya Irsyad seperti sosok anak laki-laki
bagi mereka.
Setelah melahirkan Isyana dua puluh empat tahun lalu,
Bu Nur tak lagi bisa hamil. Perjuangannya begitu panjang hanya untuk
menyelamatkan Isyana yang kala itu masih dibawa dalam kandungannya yang semakin
rentan, dan hampir mengorbankan nyawanya sendiri karena auto imun. Tapi pada
masa itu, Bu Nur tak mengerti apa-apa tentang keluhan yang dideritanya. Lahir
dan tumbuh di pedesaan menjadikannya tidak terlalu mengetahui ilmu tentang itu.
"Kapan Nak Iryad berangkat?" Tanya Pak Imam.
"Insya’allah lusa, Pak."
"Hmm.. bila demikian jangan menolak jika Apak
memintai tolong kepada Umak, untuk menyiapkan makanan alakadar untuk bekal
berangkatmu."
"Baik, Pak. Terimakasih tak terhingga."
Irsyad terharu atas segala kebaikan keluarga Pak Imam yang tiada henti
untuknya, yang bukan siapa-siapa.
Irsyad menyembunyikan hal lain yang lebih ingin
diselesaikannya di kota. Ia tak ingin membuat Pak Imam khawatir. Hanya saja ia
ingin menyelesaikan segala sangkut-pautnya di kota, agar damai hidupnya yang
sudah tenang selama di desa.
****
Senja mulai datang, meganya mulai berangsur bergerak.
Tak lama lagi magrib meleburnya. Tiap malam Ahad anak-anak yang ikut pengajian
rutin di surau. Bukan dengan Pak Imam, pengajian itu diasuh oleh Isyana, dan
Iklima, anak Pak Bilal.
Suasana Desa Babarisan terbilang aman, masih ada
kehidupan di malam hari di bawah jam sebelas sebelum benar-benar sepi.
Tak ada rasa kekhawatiran jika pun orang-orang berjalan
kaki sendirian di remang-remang cahaya bulan, di balik celah daun-daun kapas
yang dominan di antara tumbuhan lainnya di perkampungan tersebut.
**
"Nah, Jin Bongsor menertawai Jin Cungkring
padahal mereka berteman." Sambung Iklima, melanjutkan kisah dari Isyana.
Anak-anak serius mendengarkan, mereka tidak ingin
merusak cerita di tengah alur, mereka menahan rasa ingin bertanya, rasa ingin
tahu lanjutan cerita lebih membuncah binar mereka.
"Wahai, Cungkring, kenapa kabarmu kian memilukan?
Tanya Bongsor."
"Dan, kenapa kabarmu makin subur makmur dan
sejahtera? Aku iri. Balas Cungkring."
"Aku mengganggu manusia, bahkan pada saat mereka
makan, tapi manusia ini tak pernah lupa menyebut bismillah sebelum memulai
makan dan minumnya. Sungut Cungkring."
"Hahahaha..." Anak-anak terpingkal
mendengarnya.
"Dan aku sebaliknya, manusia yang kuganggu,
selalu lupa membaca bismillah. Maka makin puas diriku. Hahaha. Balas
Bongsor." Iklima melihat anak-anak yang saling pandang satu sama lain,
sambil menahan senyum.
"Nah, lho, siapa ini di sini yang sering lupa
berdoa sebelum makan dan minum? Hayo ngaku..!" Selidik Isyana seraya
menahan senyum pula.
Anak-anak saling tunjuk-menunjuk, "Si Ubay, Kak.
Nggak, Kak, si Ipul tuh. Bukan-bukan! Si Ariq, Kak..!" Riuh, goda
anak-anak mengusil satu sama lain, antusias.
"Yasudah, oke, oke, semua adik-adik kami baik.
Tak pernah melupakan bismillah di setiap berbuat baik, dan alhamdulillah pada
tiap hal baik pula sesudahnya." Tutup Isyana.
"Sudah ya, malam ini sampai di sini dulu
pengajian kita. Insyaallah kita lanjut Ahad depan." Sambung Iklima,
menutup dengan "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu."
"Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu."
Jawab yang lain, seisi surau.
Anak-anak bangun satu persatu, menyalami guru-guru
cantik mereka, tak lupa menciumi punggung tangan Isyana dan Iklima. Mereka
turun dari tangga surau dengan rapi, tanpa saling tolak. Memakai sendal
masing-masing dan pulang beriringan.
****
Sebelum jadi berangkat ke kota untuk menyelesaikan
beberapa urusan, Irsyad melanjutkan pekerjaannya menyabit rumput seperti biasa.
Karena Pak Abdu masih sangat sibuk dengan urusan kebersihan kandang.
Masih menikmati rindangnya pohon, yang bunga mangga telah
berubah menjadi calon mangga kecil. Sudah terbayang bagaimana nantinya bocah-bocah
heboh saling berlomba memanjat dan memetiknya.
Semilir angin antara siang menuju sore sangat nikmat,
ditambah lagi suasana panas mulai menurun tidak terlalu terik lagi.
Pak Abdu ikut bergabung bersama Irsyad. Mereka belum
pernah kenal sebelumnya, tapi keakraban mereka tidak perlu menunggu waktu yang
lama. Obrolan silih berganti, dan sampailah ingatan Pak Abdu kepada amanah dari
Pak Imam, untuk menyampaikan kepada Irsyad agar menemui beliau setelah urusan
menyabit rumputnya selesai.
"Nak Irsyad, ada baiknya tunda dulu ke kotanya besok
lusa." Pak Abdu memulai perbincangan kembali.
"Ada apa, Pak?" Selidik Irsyad.
"Bapak rasa Pak Imam khawatir jika Nak Irsyad
berangkat kali ini." Lanjutnya.
"Loh, kenapa? Berhubung Pak Imam sebelumnya sudah
mengizinkan."
"Iya, tapi keadaan di kota sedang tidak sehat."
"Ada apa sebenarnya?" Irsyad makin menjadi-jadi
rasa penasarannya.
"Kemarin Pak Imam dan Pak Bilal ada urusan di balai
desa dengan Pak Lurah. Ada surat edaran untuk masyarakat agar tidak bepergian
jauh dulu. Di balai kan ada televisi juga, semua siaran sedang memberitakan
wabah penyakit, lupa detailnya saya."
"Hmm...sepertinya penyakit Virus Qorun, entah apa
itu. Sejenis flu batuk, tapi belum ditemukan penangkalnya. Jadi masyarakat
diimbau untuk menjaga kesehatan terutama kebersihan diri dan lingkungan."
Lanjut Pak Abdu.
"Demikian? Saya juga baru dengar dari Bapak. Maklum,
di kontrakan saya, jangankan televisi, radio saja saya tak punya. Hehe."
Sambungnya.
"Ya sudah, saya pamit ya, Pak. Ada baiknya saya
tidak menunda lagi bertemu Pak Imam. Salam'alaikum."
"Baik, silakan. 'Alaikumsalam. Rumputnya simpan di
bekang pintu kandang saja dulu ya."
(Irsyad menjawab dengan senyum dan anggukan, mulutnya
terhalang goni yang penuh berisikan rumput dari sisi bahunya).
**
Berhubung dari toa surau telah terdengar sayup bacaan
Quran, Irsyad memilih pulang dulu ke kontrakan, mandi, berganti pakaian, dan
hendak melaksanakan salat jamaah magrib ke surau.
Malam ini pengajian diisi dengan pembacaan surat edaran.
Warga Desa Babarisan diinformasikan tentang beberapa hal menyangkut penyebaran
wabah Virus Corona.
Mata warga saling pandang memandang, dan mengisyaratkan
tanda tanya yang amat besar. Mereka baru mendengar nama penyakit sejenis
Corona, dan terasa asing bagi mereka.
"Itulah dalam Islam mengapa kita dianjurkan untuk
menjaga wudhu, bahkan menjelang sebelum tidur. Ada makanan yang halal dan haram
yang harus kita jaga, untuk boleh tidaknya masuk ke dalam tubuh kita."
Tutur Pak Imam lembut.
"Mari setelah ini kita berdoa bersama agar wabah ini
lekas berlalu, kita jaga kesehatan kita dengan melaksanakan segala adab yang
Rasulullah titahkan, termasuk mencuci tangan sebersih mungkin sebelum menyentuh
dan memegang apapun. Berserah diri kepada Allah, agar Allah menurunkan obat
dari segala ujian penyakit terhadap semua ummat. Jangan lupa bersyukur atas
nikmat sehat yang ada." Sambungnya.
"Mohonlah kepada Allah ampunan dan sehat sempurna.
Sebab seseorang tidak diberi lebih baik sesudah keyakinan melainkan kesehatan.
Demikian Hadist riwayat Nasai." Pak Bilal meneruskan, melihat Pak Imam
sedang terdiam lama merenungi banyak hal. Kemudian beliau ikut terdiam, bersama
jamaah lainnya, yang entah apa dalam hati dan pikiran masing-masing.
***
Jamaah mulai berdiskusi dengan diri masing-masing. Ada yang
berbisik pelan, dan hanya dirinya yang tahu. Ada yang menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan sambil melafalkan sesuatu. Ada yang mengamati
jari-jemarinya sambil menghitung ruas-ruas jari.
"Jadi, Pak Lurah memberi mandat agar kita sebagai
warga menunda bepergian keluar apabila tidak terlalu penting."
"Juga tidak menerima dahulu tamu atau pendatang dari
luar desa." Lanjut Pak Imam.
"Penyakit ini, insyaallah dapat disembuhkan jika
kita menjaga interaksi, menahan dulu dengan orang luar jika kita masih aman.
Jaga kondisi tubuh masing-masing dengan mencukupi kebutuhan air putih, menjaga
kebersihan. Terutama hati kita agar berkeyakinan penuh atas penjagaan dari
Allah."
"Jadi, silakan beraktifitas seperti biasa bagi warga
desa Babarisan, jangan stres, pikiran baik mendatangkan tubuh yang sehat dan
jiwa yang bahagia."
"Jika ada satu saja warga yang tidak menjalankan
anjuran ini, terpaksa nanti akan ada perintah tinggal di rumah masing-masing
dalam waktu tertentu untuk menghindari penularan." Pak Imam melirik Irsyad,
lalu mengarahkan pandangan ke yang lain.
Irsyad mengerti
isyarat bahwa Pak Imam melarangnya berangkat ke kota kali ini.
"Lalu informasinya sakit tersebut ciri-cirinya
bagaimana, Pak?" Tanya Pak Badrun.
"Silakan Pak Bilal, tolong dijawab." Pak Imam menggilir
arah diskusi.
"Kabarnya hampir seperti flu biasa, hanya saja jika
ada orang yang bepergian jauh ke tempat asal wabah atau tempat yang sudah
tertular, selama dua pekan muncul gejala sakit kepala, batuk kering dan susah
bernapas, lemas, disertai demam mencapai 38 derajat Celcius lebih, sakit
tenggorokan, sudah harus segera memeriksakan diri." Jawab Pak Bilal.
"Wah, membingungkan ya. Lantas bagaimana cara
penularannya?" Pak Safran ikut penasaran.
"Apabila ada penderita yang batuk, atau bersin dan
semacamnya, percikan air dari mulut atau hidungnya mengenai barang lalu benda
tersebut disentuh oleh orang sehat, tangan orang sehat menyentuh bagian
wajahnya, dari situlah penyebaran dimulai, apalagi jika kondisi tubuh kurang
istirahat, ketahanan fisik dapat langsung menurun."
"Belum lagi jika cairan dari mulut atau hidung
penderita langsung mengenai wajah, virus lekas menyerang pernapasan."
Jawab Pak Bilal, meneruskan tutur dari Pak Lurah, ketika mereka di Balai Desa.
"Menurut berita dari Pak Lurah lagi, sakit ini dapat
lekas disembuhkan apabila cepat penanganan, dan yang tertular tubuhnya menolak
virus dan menyembuhkan tubuhnya dengan sendirinya. Terutama anak-anak lebih
lekas membaik, dibanding kita yang mulai sepuh ini, yang olahraga saja hanya
mencangkul jikalau rajin berkebun." Ditutup seloroh dari Pak Imam untuk
mencairkan suasana.
Sontak jamaah ikut terkekeh, ada yang segera menutup
mulutnya karena malu giginya yang pada ompong terlihat.
****
Pagi ini Isyana tidak seperti biasanya yang menikmati
suasana di teras. Isyana berselimut, merasa ngilu tulang belulangnya, lemas.
Umak khawatir melihat anak gadis satu-satunya itu tidak
seceria hari biasa. Umak berinisiatif membuat bubur kacang ijo kesukaan Isyana.
Mengantarnya ke kamarnya.
Umak menyuapi Isyana, menyendokkan bubur sedikit demi
sedikit, sehingga tidak sadar sudah tiba di suapan terakhir.
"Umak ambil lagi ya, mau ya Sya?"
"Tak usah, Mak, sudah cukup. Agaknya Sya ingin
istirahat saja dulu." Isyana menolak halus. Sebenarnya dia sedang tidak
merasa ingin makan apapun, selera makannya sedang tidak ada. Hanya saja tak
sampai hati menolak kebaikan dan perhatian Umak.
Pak Imam pun masuk ke kamar Isyana, meraba kening anak
tersayangnya itu.
"Hangat, Nak. Apa perlu Apak minta tolong Bu Bidan
ke sini untuk memeriksa atau mengecek?" Pak Imam tak enak perasaan melihat
kondisi Isyana.
Ya di desa, Bu Bidan tidak hanya menolong persalinan,
tapi juga turut membantu memeriksa untuk keluhan tertentu dari warga, karena
dokter di puskesmas pembantu terbatas, itupun hanya dua orang dokter umum,
seorang wanita, dan seorang lagi laki-laki. Seorang lagi perawat perempuan.
"Tak usah, Apak. Sya coba bawa tidur dulu. Pun Sya
baru menghabiskan semangkuk bubur buatan Umak. Insyaallah lekas membaik.
Mungkin keletihan, karena semalam baru tertidur pukul empat dini hari,
memperbaiki hafalan."
Akhirnya Bu Nur dan Pak Imam memberi peluang untuk
anaknya beristirahat. Kedua orangtuanya itu meninggalkan kamar Isyana, seperti
tidak rela. Dari kecil Isyana sering sakit, membuat keduanya khawatir apabila
Isyana sudah mulai terlihat tidak sesehat hari-hari biasanya.
***
"Bu, apa mungkin jika kita jodohkan Sya dengan nak
Irsyad saja?" Pak Imam membuka percakapan dengan istrinya.
"Umak setuju-setuju saja, Pak. Tergantung
anak-anaknya apakah menyetujui dan cocok. Karena pernikahan mereka yang
jalankan. Lagi pula nak Irsyad juga baik." Jawab Bu Nur, beliau belum
terlalu fokus dengan obrolan, hatinya sebagai ibu masih terpikir anaknya yang
mulai kambuh sakitnya lagi.
"Iya, nanti kita tanya kepada mereka masing-masing.
Apak pun sedang menunggu nak Irsyad menyelesaikan urusannya di kota, dia
meminta izin ke kota beberapa hari. Tapi, kali ini mungkin terpaksa ditunda
dulu."
"Apak risau. Kita sudah selayaknya menikahkan Sya
dengan lelaki yang baik. Apak tak tahu usia di kemudian hari, setidaknya ada
yang menjaga Sya jika pun Apak dipanggil yang Mahakuasa."
"Hust! Apak tidak boleh berbicara begitu ah. Umak
tidak suka." Jawab Bu Nur sembari merebahkan kepalanya ke bahu Pak Imam.
Bu Nur tidak pernah mendengar Pak Imam berbicara seperti
itu. Jadi sesekalinya dibahas, Bu Nur menahan gejolak bulir yang akan keluar
dari sudut matanya, tak menyangka suaminya itu menyadarkannya akan melepas
suami yang menemaninya bertahun-tahun, suatu saat nanti, atau sebaliknya.
****
(Bersambung....)
Komentar
Posting Komentar