Lama nggak nulis, alias ngetik di blog. Tak perlu banyak
alasan, cukup satu kata saja, yakni malas, lama kelamaan tambah malas. Sebab,
alasan lain bisa jadi karena pembenaran demi pembenaran dari rasa malas itu
sendiri. Salahsatunya, saya tipe yang khawatir kalau menulis.. tiba-tiba
blak-blakan yang ada tambah dosa, ya surut lagi mood menulisnya, padahal di status media sosial (FB) saya lumayan rajin kadang-kadang untuk memosting beberapa
hal. Urung lagi, mungkin aplikasi dalam bermedsos lebih mudah daripada untuk
nge-blog, ah.. alasan lagi.
Baiklah, bismillah, saya ingin berbagi cerita, yang semoga
dapat diambil manfaat bagi kita semua khususnya saya pribadi. Ingin saya
paparkan dalam bahasa ringan, yang dengan itu semoga memudahkan dalam
penerimaan. Jika tidak berkenan, maka
abaikan, tapi mohon simak sampai tuntas agar bijak dalam memahami sudut
pandang, sehingga kita saling menjaga perasaan.
**
Kala itu, saya disibukkan dengan berbagai aktivitas, sebagai
mantan mahasiswi yang sedang semangatnya berkarir. Menjadi anak yang baik bagi
ibu saya tetap diutamakan, sebab mamak sudah tidak boleh terlalu lelah lagi,
faktor usia paling mendominasi, ya.. minimal urusan rumah yang bisa saya bantu
maka melakukannya adalah keputusan paling
tepat bagi saya daripada sekadar basa-basi di sosmed ’love you, Mom’ tapi
nyatanya nggak ada di kehidupan dan aksi
nyata.
Kuliah dengan upaya sendiri dari dana hingga keperluan
lainnya, jatuh bangun hingga pada akhirnya cum laude, adalah usaha saya dalam
menjadi anak yang baik. Ya, meski lulus dengan bobot badan 39kg, turun drastis,
nggak sesuai dengan proporsi tinggi. Sampai orang suka ngebecandain kekurusan
saya itu, dengan kalimat yang mereka anggap kelakar, saya balas canda pula,
padahal hati terkadang ngilu, sebab panjang cerita hidup yang lebih sering saya
limpahkan dalam doa daripada saya rapal kepada telinga-telinga yang belum tentu
membalas sejuk. Syukur, wajah saya manis, jadi banyak dari orang tersebut yang
amnesia dengan kekurusan ini, ok ok.. jangan mual, kita lanjutkan ceritanya.
Kerja lancar, alhamdulillah, tetap coba disyukuri meski
nano-nano rasa dunia kerja itu tetap ada. Sebagai masyarakat dalam sebuah desa,
saya coba tetap upayakan menjadi warga yang baik pula. Lelah bekerja, tetap
harus ada agenda bantu-bantu tetangga jika ada hajatan, meski terkadang dalam
bermasyarakat saat saling bertemu ada pula rasa yang merusak mood karena
beberapa orang bukan kedatangan kita yang dihargai tapi ketidakhadirnya kita
yang diungkiti, aih.. ribet. Ada yang meninggal, coba tetap berpartisipasi
dalam pelaksanaan fardhu kifayah, meski hanya duduk di rumah duka sebagai tamu
calm yang membatin doa, dan lain sebagainya.
Ikut dalam kegiatan dakwah, meski hanya sebagai guru ngaji
di sebuat balai pengajian, setidaknya ada alasan buat saya berdiam dan bergerak
dalam lingkungan masjid. Hingga ikut seminar sana sini, sebagai perwakilan desa
atau sebagai ambisi pribadi dalam mengikuti kajian ilmu. Karena, saya merasa
sadar, saya hanya seorang kecil di antara rombongan manusia yang
mengatasnamakan diri pendakwah, jadi daripada tidak sama sekali.. ya ada
baiknya untuk jadi penyimak yang sesekali bertanya. Justru ada nilai tertentu
dalam ruh saya yang kian hari mencoba berpindah menjadi diri yang lebih baik,
in sya’ Allah.
Dunia pertemanan menjadi terbuka dengan ikut kegiatan ini
itu. Semua orang yang dirasa cocok saya coba hahahihi, meski image saya berbeda
pada pandangan setiap orang. Karena dengan jilbab yang orang anggap besar, tapi
saya terkadang masih ikut dengan teman yang nongkrong di kantin untuk bergelak-tawa,
atau narsis di tepi pantai satu dan lainnya dengan mereka. Saya jadi tahu
beberapa tempat rekreasi dan wilayah kulineri karena mereka. Sedang pada
kesempatan lain, saya tetap berkecimpung dengan sesama teman yang haus siraman
rohani dalam beberapa ruang pengajian. Saya ingin mengubah sudut pandang
tersendiri dalam pertemanan, berteman dengan siapa saja, asal tetap menjaga
diri. Karena hidup perlu berbaur, tapi nggak semua hal dalam hidup harus kita
lakukan, sebab kita punya agama dalam patokan.
***
Pandangan terhadap sosok yang akan hadir nebeng di samping
foto saya, di buku nikah pun semakin pekat aromanya. Persiapan pernikahan
antara kami mulai dilist dan laksanakan. Namun, dalam persiapan itu.. Allah
cabut nikmat sehat saya yang ke sekian. Ada rasa sakit yang tak pernah orang (wanita)
duga, tiba di tubuh saya, yang mungkin membayangkan saja amit-amit.
Sebagai wanita normal, beberapa hari setelah menstruasi saya
merasakan sakit, nyeri tak tertahankan di area pa*udara. Sebagai tubuh yang
merasakan adanya kejanggalan, saya merasa ini adalah sesuatu yang berbeda dari
biasanya, disertai demam dan pusing, mual dan anggota badan yang pegal
seperti ditimpuk segudang buku dan
seolah usai kerja rodi. Saya mencoba berpikir positif, ini mungkin kelelahan
atau rasa gejala flu biasa. Akan tetapi, lewat seminggu masih terasa, dan di
bagian pa*udara kanan makin berdenyut dan terasa adanya benjolan.
Ini saya rasa nggak bisa didiamkan begitu saja. Saya merasa
terpuruk, menangis sendirian siang dan malam di kamar. Ini, suasana baru yang
belum pernah saya rasakan. Rasa yang luar biasa mencekam mendekati pernikahan. Saya
hibur diri dengan ikut berlibur bersama teman ke tempat wisata. Saya kelarkan
semua urusan yang menjadi tanggungjawab saya, agar beban amanah tuntas, sebelum
saya memilih mengistirahatkan jiwa raga dengan mengundurkan diri sementara
waktu dari aktifitas yang melelahkan di luar rumah dengan pekerjaan yang
dikejar waktu selesai. Saya makin berusaha mendekatkan diri dengan Allah dalam
berbagai amalan sunah.
Saya coba curhat ke sahabat yang saya rasa bisa menjaga
rahasia, dan mampu memberikan solusi. Saya coba curhat ke calon suami, agar
tidak ada dusta antara kita, sebab pernikahan adalah hal yang sakral, cara
saya untuk meminimalisir kekecewaan
orang yang memilih saya menjadi pendamping hidupnya. Hiruk pikuk aktifitas
terus berjalan, semakin saya coba agar tak terlalu tergerus suasana.
Berobat, ya.. saya memulainya ke puskesmas, berkonsultasi ke
yang terdekat dulu sebelum dirujuk ke rumah sakit. Keluhan saya membuat dokter
merasa agak kesal, bukan kesal marah, tapi kecewanya karena ia rasa saya datang
terlambat setelah sekian minggu merasa adanya keluhan tersebut. Diagnosa awal
saya tumor ganas, karena benjolan terus
adanya perkembangan, dan denyut yang saya keluhkan makin menjadi-jadi. Tetapi,
dokter berusaha menghibur saya, dengan mengatakan itu semua belum akurat
sebelum pemeriksaan lanjutan yang lebih detail.
Doa, mengantri dari ruang periksa satu ke ruang periksa
lainnya, menunggu dokter spesialis satu dengan dokter spesialis lainnya, karena
mengandalkan rumah sakit terdekat dan sesuai BPJS. Bertahap, hampir tiap hari
mengecek, selesai ruang ini, lanjut yang lain, dalam suasana penghujan,
sehingga flu pun datang dan komplikasi lambung. Merasa hampir putus asa, karena
hasil USG positif bertumbuh situasi abnormal, dan kata dokter bahwa ada dua benjolan yang mengapit
berdampingan, serta operasi sedang dipersiapkan agar dapat dicek lebih lanjut
di lab.
Akhirnya saya pasrah, dan curhat juga ke keluarga, padahal
niat awal agar mereka nggak khawatir. Pesan keluarga semakin menohok, agar saya
urungi dulu dan menunda operasi, sebab pernikahan sedang dalam proses persiapan.
Saya makin over mengakses pengetahuan tentang kesehatan pa*udara, bersabar
menikmati rasa sakit itu sendiri, minum obat dokter dan racikan herbal, membiasakan makanan sehat dan berpikir
positif (meski rasanya tak sepositif perasaan, manusiawi kan?).
Sebab, di luar sana tetap mencoba sebahagia mungkin, maka
orang nggak banyak yang tau. Ini saya rasa tak perlu khalayak tau, buat apa
diumbar-umbar. Tapi, inilah ujian kesabaran, beberapa orang yang dianggap teman
dekat, malah salah paham dengan keadaan, beberapa fitnah berdatangan efek salah
paham, karena saya menarik diri dari kegiatan luar, fokus pada kebahagiaan
diri.. salah?
Mereka mengadu domba saya dari satu orang ke lainnya, dengan
mencocokkan alibi mereka sendiri tanpa tanya dan mendengar penjelasan saya
dulu, hingga apapun yang saya katakan mereka putar-putar ke yang dianggap saya
ini seorang ‘perusak’. Terakhir saya mengetahui keadaan tersebut karena
beberapa orang tanpa sengaja membulli saya. Ah, saya merasa mereka amat jahat
saat saya sedang begini. Tapi, Allah menunjukkan saya mana teman baik di antara
setiap teman baik sebelumnya, dan saya berusaha tidak merusak silaturahim
dengan mereka, pura-pura acuh dengan sindiran, toh tak salah mereka juga dengan
sikon saya yang begini, bahkan saat saya menuliskan ini, semuanya tinggallah
masa lalu.
Menuliskan yang telah berlalu, tak sehanyut menuliskannya saat sedang berlangsung.
Menuliskan yang telah berlalu, tak sehanyut menuliskannya saat sedang berlangsung.
***
Dukungan mood boster dari para sahabat yang tetap ‘memeluk’
saya, doa dari keluarga terutama mamak
tercinta, kasih sayang lelaki yang tulus mencintai saya (menerima saya dengan
segala keluhan dramatis, rasanya Allah benar-benar Penyayang dalam memilih
lelaki ini, suami terbaik bagi saya), mengonsumsi obat dengan komitmen sembuh,
doa dalam deraian air mata, please ini bukan kelebayan).
Melupakan cerita-cerita pilu dari pasien berbeda, saat dalam antrian di rumah sakit di ruang onkologi. Mencoba membahagiakan diri sendiri dengan berupaya merasa diri sebagai hamba yang derajatnya hendak Allah tinggikan, dengan upaya sabar sejadi-jadinya.
Melupakan cerita-cerita pilu dari pasien berbeda, saat dalam antrian di rumah sakit di ruang onkologi. Mencoba membahagiakan diri sendiri dengan berupaya merasa diri sebagai hamba yang derajatnya hendak Allah tinggikan, dengan upaya sabar sejadi-jadinya.
Alhamdulillah, nyeri semakin berkurang, benjolan semakin
menghilang, meski rambut rontok berjatuhan. Diagnosa dokter menjadi tumor
jinak, dan tidak perlu operasi, asalkan mengubah hidup menjadi pola hidup
sehat, nggak ambil pusing dengan lingkungan yang membuat stres, dokter tetap
mengarahkan agar tetap menjalani pemeriksaan. Semoga sakit ini benar-benar
hilang, dan dengan pemberhentian pengobatan, semoga promil kami diijabah Allah
dengan buah hati yang diidamkan.
Pada akhirnya setelah sekian lama, lahirlah tulisan panjang
ini, meski mungkin ceritanya dipadatkan secara umum. Setelah memberanikan diri
menuliskannya, diniatkan semoga dapat diambil pembelajaran bagi semua. Alhamdulillah 'ala kulli haal, saya dizinkan sembuh olehnya.
****
#Hidup ini seperti keyakinan kita, maka berkeyakinanlah yang
baik, agar baik kehidupan kita
#kita hidup tak sendiri, maka kebersamaan kita pun menuai
banyak pandangan, maka mari bersabar dari setiap sudut pandang negatif orang
terhadap kita
#Allah lagi dan lagi, mendekatlah pada Allah, agar Allah pun
tiada ‘berjarak’ dalam hati kita.
___
(panjang kali kurasa,
malas baca ulang apalagi edit, pokoknya nge-blog aja lagi :D)
Komentar
Posting Komentar