Manusia butuh waktu hampir sepenuh hidupnya, untuk mengenal lebih nyata diri orang lain. Tak cukup akrab dalam saban hari bercakap bersenda, atau saling memukuli nyamuk saat memperrebutkan bantal antara lelapnya memandang setiap tempo pergantian hari dan malam. Ketika satu manusia menyebutkan mengenal manusia yang lain dengan seksama, itu adalah nisbat yang tak menjelaskan apapun.
Nah, ketika manusia tersebut memahami dirinya sendiri, sebut saja kita. Kita bahkan hampir tak cukup waktu untuk mengenal diri sendiri. Kendatipun selalu membawanya ke mana pergi, diikuti bayangan hitam, hingga seluruh gigi putih menguning menjadi tak berbekas meninggalkan gusi yang semakin tumpul.
Kita, hampir selalu memandang orang lain dengan seksama, terkadang terlupa kembali kepada ruhnya diri. Bagaimana ketika rapuh, marah, pilu, bahkan bahagia? Terkadang terlalu gegas menuding orang lain tanpa paham kesalahan sendiri. Terkadang menertawakan orang lain, lantas enggan ditertawakan. Hebat dalam menasehati orang lain, namun kalah dalam menasehati diri sendiri.
Bilangan usia tak cukup untuk sekedar paham terlalu dalam, atau menjadikan dewasa dalam berpikir. Terlalu berpikir dalam, pun, tak sanggup. Sehingga, terkadang kegilaan dapat timbul dari hal kecil yang menjadi rumit. Lantas, inilah gunanya hakikat bathin. Pilah-pilahan ruas pemaknaan, yang andil untuk merasakan mana batasan-batasan yang pantas atau tidaknya dalam menentukan pilihan yang tepat dan berarti.
Ruas-ruas putih atau hitam. Bagaimana memberhentikan langkah bila dianggap telah berjalan ke arah tikungan yang salah, atau bagaimana melajukan langkah menuju hantaran yang dianggap benar. Kita punya ketentuan yang telah disusun semenjak masih bersifat ruh. Namun, ketika disatu dan padukan dengan jasad, semuanya menjadi tumpang-tindih.
Kita melewati gundukan tanah yang ditancapkan nisan, tapi lupa belajar darinya. Bahwa hakikat tanah akan kembali menjadi tanah. Hidup untuk Yang Maha Hidup, bukan hidup untuk sesama dihidupkan. Kita terkadang kalah dengan kekalahan, remuk oleh cinta yang meremukkan, rapuh oleh pilu yang merapuhkan, jatuh oleh bahagia yang membahagiakan.
Kita selalu menolak arahan baik, hanya karena pemahaman diri yang salah. Merasa diri sudah benar, atau merasa sangat bodoh hingga malu dan segan. Mengangkat yang tinggi dan menjatuhkan yang rendah. Padahal semuanya sama, hanya berbeda kemampuan, punya keistimewaan masing-masing.
Sebenarnya hidup ini teramat indah, pabila kita berusaha selalu berjalan di atas altar yang telah ditetapkan. Akan tetapi, memang beginilah problematika kehidupan, dipimpin oleh pembenaran pula oleh penyalahan. Kita ditatih untuk berkelok dari jalur, dan itu terasa indah tanpa tersadari, menjadi racikan yang semakin khas dalam setiap menu pola pikir. Akhirnya karam, melupakan pelampung yang telah lama diulurkan perlahan.
*09022012/03.05am@kotakberdimensi.(RA)
Komentar
Posting Komentar