Langsung ke konten utama

Sebatas Mana Sudah (Kepahaman Akan Diri)?


Manusia butuh waktu hampir sepenuh hidupnya, untuk mengenal lebih nyata diri orang lain. Tak cukup akrab dalam saban hari bercakap bersenda, atau saling memukuli nyamuk saat memperrebutkan bantal antara lelapnya memandang setiap tempo pergantian hari dan malam. Ketika satu manusia menyebutkan mengenal manusia yang lain dengan seksama, itu adalah nisbat yang tak menjelaskan apapun.

Nah, ketika manusia tersebut memahami dirinya sendiri, sebut saja kita. Kita bahkan hampir tak cukup waktu untuk mengenal diri sendiri. Kendatipun selalu membawanya ke mana pergi, diikuti bayangan hitam, hingga seluruh gigi putih menguning menjadi tak berbekas meninggalkan gusi yang semakin tumpul.

Kita, hampir selalu memandang orang lain dengan seksama, terkadang terlupa kembali kepada ruhnya diri. Bagaimana ketika rapuh, marah, pilu, bahkan bahagia? Terkadang terlalu gegas menuding orang lain tanpa paham kesalahan sendiri. Terkadang menertawakan orang lain, lantas enggan ditertawakan. Hebat dalam menasehati orang lain, namun kalah dalam menasehati diri sendiri.

Bilangan usia tak cukup untuk sekedar paham terlalu dalam, atau menjadikan dewasa dalam berpikir. Terlalu berpikir dalam, pun, tak sanggup. Sehingga, terkadang kegilaan dapat timbul dari hal kecil yang menjadi rumit. Lantas, inilah gunanya hakikat bathin. Pilah-pilahan ruas pemaknaan, yang andil untuk merasakan mana batasan-batasan yang pantas atau tidaknya dalam menentukan pilihan yang tepat dan berarti.

Ruas-ruas putih atau hitam. Bagaimana memberhentikan langkah bila dianggap telah berjalan ke arah tikungan yang salah, atau bagaimana melajukan langkah menuju hantaran yang dianggap benar. Kita punya ketentuan yang telah disusun semenjak masih bersifat ruh. Namun, ketika disatu dan padukan dengan jasad, semuanya menjadi tumpang-tindih.

Kita melewati gundukan tanah yang ditancapkan nisan, tapi lupa belajar darinya. Bahwa hakikat tanah akan kembali menjadi tanah. Hidup untuk Yang Maha Hidup, bukan hidup untuk sesama dihidupkan. Kita terkadang kalah dengan kekalahan, remuk oleh cinta yang meremukkan, rapuh oleh pilu yang merapuhkan, jatuh oleh bahagia yang membahagiakan.

Kita selalu menolak arahan baik, hanya karena pemahaman diri yang salah. Merasa diri sudah benar, atau merasa sangat bodoh hingga malu dan segan. Mengangkat yang tinggi dan menjatuhkan yang rendah. Padahal semuanya sama, hanya berbeda kemampuan, punya keistimewaan masing-masing.

Sebenarnya hidup ini teramat indah, pabila kita berusaha selalu berjalan di atas altar yang telah ditetapkan. Akan tetapi, memang beginilah problematika kehidupan, dipimpin oleh pembenaran pula oleh penyalahan. Kita ditatih untuk berkelok dari jalur, dan itu terasa indah tanpa tersadari, menjadi racikan yang semakin khas dalam setiap menu pola pikir. Akhirnya karam, melupakan pelampung yang telah lama diulurkan perlahan.


*09022012/03.05am@kotakberdimensi.(RA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 Irama Bacaan Al-Qur’an

doc.animasipro | Rahma An *galeri Membaca Al-Qur’an dengan irama atau suara yang merdu dikenal dengan tilawah Al-Qur’an. Tilawah sudah dikenal sejak lama, yaitu membaguskan intonasi bacaan Alquran dengan menyertakan hati yang khusyuk. Membaca Alquran dengan indah akan lebih mudah dalam mendalami maknanya. Banyak pendapat ulama bahwasanya tilawah bukan sekadar membacanya dengan tartil, akan tetapi juga harus sesuai tajwid, makhraj, dan menyesuaikan dengan hukum bacaan. Tilawah adalah amalan yang dianjurkan, karena Allah menyukai orang yang membaguskan bacaan Qur’an-nya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an, Nabi berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari, Muslim) Seni suara dalam membaca Al-Qur’an telah turun-temu...

BERSEMADI 20 Hari : Belajar dari Semut

Berawal dari salah seorang anggota di grup komunitas, yang membagikan informasi tentang adanya program BERSEMADI (BERkarya SElama raMAdan di blog pribaDI) oleh FLP Surabaya. Sembari melakukan aktivitas lain sebagai seorang istri, selama di rumah saja, dan ada beberapa program lainnya juga melalui daring. Saya ikut berpartisipasi dalam agenda BERSEMADI, setidaknya sambil rutin mengisi blog dan berbagi tulisan baik. Sebelumnya melalui proses pendaftaran dan sejenak melakukan diskusi, sebagai syarat keberlanjutan dan kelancaran program, bersama panitia. Menulis dengan tema yang ditentukan dan sama setiap harinya, harus disetor dengan batas waktu, selama dua puluh hari berturut-turut tidaklah mudah. Jauh lebih mudah ketika menulis dengan tema yang bebas dan tidak terikat, karena topik pembahasan yang sama selama hampir sebulan itu akan membuat pusing di antara kesibukan lainnya. Namun, semangat dan antusias teman-teman yang mengikuti adalah cambuk bagi kita semua untuk menuntas...

Jenazah Positif COVID-19 Najiskah?

Tagar di rumah saja menjadi populer di berbagai penjuru media sosial saat ini, di tengah-tengah masih pro-kontranya masyarakat yang berusaha waspada atau yang terlalu santai. Covid-19 tak bisa dianggap angin lalu, wabah ini makin ke sini kian serius. Namun, bagaimana sikap terhadap pasien yang dinyatakan positif Corona ini? Ada beberapa komentar yang bergeming, bahwa penanganan pasien positif dianggap terlalu melebih-lebihkan seolah pasien tersebut najis. Jumlah penderita terinfeksi Virus Corona makin bertambah, ada yang berhasil sembuh dan bahkan meninggal dunia. Pihak medis Indonesia yang belum sempurna siap, baik dari segi alat maupun fasilitas yang ada, mengerahkan segala kemampuan mereka mempertaruhkan nyawa bahkan, sebagai garda terdepan. Tugas masyarakat adalah membantu mereka dengan ikut andil menghindari keramaian sebagaimana wacana dari pemerintah setempat, kecuali sangat perlu untuk ke luar (dengan kehati-hatian). Namun, masihkah ada yang belum mengetahui jelasnya ten...