Langsung ke konten utama

Apa Warna Hidupmu?


 Hai sahabat, saya rasa setiap orang punya warna kehidupannya masing – masing. Benarkan? Kalian setuju? Traktir saya bila salah, hehe.

      Setiap pertumbuhan masa, pasti warna tersebut tak pernah menetap dengan betah. Jenuh, bosan, dan bermetamorfosis. Saya tak menyebutkan kepompong menjadi kupu – kupu, karena dia lebih terkenal dibandingkan saya rakyat yang mengaku - ngaku jelita dan masih bayi ini. Ya, bagaimana tidak, saya merasa dewasa itu tak cukup dengan banyaknya bilangan usia.
       Dewasa butuh kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan keadilan. Eits…. Bukan unek – unek Pancasila ya. Ini lebih kepada kebijaksanaan dalam membawa diri untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan kehidupan, untuk menentukan warna yang tepat dan sesuai kepada diri sendiri. Jikalau berbicara tentang kupu – kupu, siapa yang tidak mengetahui keindahan warna dan corak kehidupannnya, coba? Sehingga dia jelas tak khawatir demi perubahannya.
        Nah, yuk mari membicarakan tentang katak. Kalian sudah pada mengenal si Katak kan? Berbeda sungguh si Katak dengan si Kodok. Maka, jangan samakan. Karena kodok tak pernah dewasa dalam memilih warna kehidupannya. Hidupnya selalu bersembunyi di bawah tempurung, bebatuan, maupun semak. Warnanya suram, karena dia selalu menutup diri, enggan berinteraksi dengan dunia baru. Sama sekali tidak berkilau. Dia selalu menatap mimpi dengan kosong. Sedangkan katak sangat antusias dalam memilih warnanya. Hijau yang sangat khas, bercahaya, cerminan semangat dirinya. Katak melompat gesit di antara satu pohon dengan pohon lainnya. Katak tak hanya di air dan darat, namun pula di udara.
       Saya kira, sudah sangat panjang mukaddimah saya. Saya khawatir, sahabat jenuh dan kabur dalam kebimbangan katak yang mana dan kodok yang mana. Hehe.. alhasil saya mau berbagi tentang kisah pemilihan warna. Kalian mau kan mendengarkan? Oh, saya mohon dengarkanlah. Kalian tidak mau kan menenangkan si yang mengaku bayi ini menangis dari nada minor hingga mayor? :p
       Syahdan (tempoe doeloe gitu) tatkala saya masih ibarat kodok. Tempat favorit saya kalau bukan bertelur di dalam dinding kamar bersama buku, ya di rumah sakit terbaring cari perhatian gitu. Entah karena kekurangan imun atau pun karena nakal, secara teman seumuran satu lorong bernama laki – laki semua. Kerjaan main kelereng atau bertempur merebut lapak dahan pohon jambu yang paling rimbun buahnya. Jangan heran kalau saya paling cantik di antara semua. Bukan sombong loh, akan tetapi memang benar. Karena yang lain berebut gelar ganteng. Ahihi
      Namun, semakin hari saya lebih banyak menyendiri di rumah. Semua terasa gelap tatkala masalah keluarga yang mendilema. Masa kecil tak seindah yang diharapkan. Anak emak yang kekar menjadi layu, mudah diterpa angin meski sepoi berhembus, sedikit – sedikit sendu, banyak – banyak pasang muka amplas, eh memelas maksudnya.
     Sekolah dasar terancam tak tamat, dikarenakan kondisi perekonomian orang tua yang sangat memprihatinkan. Kakak tertua akhirnya pasrah untuk segera berumah tangga tanpa melanjutkan pendidikan. Dilanjutkan oleh abang dan kakak yang lain, putus sekolah dan mencari pekerjaan yang mampu diperbuat, yang penting halal.
      Abang ke tiga, punya keahlian dalam bidang elektro dan mesin semenjak lulus Madrasah Ibtidayah, karena semenjak kecil senang mengotak atik segala benda elektronik isi rumah, hingga pertelevisian milik negara (hehe) alhasil meledak.
     Namun ayah hanya mampu berceramah menghadapi tingkah Cut Lem. Alhasil, sampai detik ini dia tidak kalah mahir dengan para sarjana teknik. Pelanggannya di mana – mana. Akan tetapi Cut Lem lebih memilih bekerja dengan panggilan sambil meneruskan keasyikkannya yang lain, mendaki turun gunung guna mencari aneka jenis burung. Ya, dia pengagum binatang bersayap tersebut. Baginya pekerjaan adalah hobi, hobi adalah peluang bekerja. Dia sangat enggan dalam keterikatan, walau mendapat pemasukan yang luar biasa. Jadi, itulah warnanya, hijau. Tak ada pemberhentian mau pun larangan. Mandiri adalah karena keberanian menekuni kesenagannya dengan sabar.
      Kakak perempuan, punya kesenangan mendekorasi ruangan dan menjahit. Saat perekonomian keluarga melemah, dia gagal menyelesaikan pendidikannya di MTsN. Namun, apa yang ditempuhnya? Karena tak berpunya mesin jahit, dia belajar ke tetangga. Secara kecil- kecilan dia membuka usaha menerima jahitan. Dari berbagi hasil dengan yang punya mesin hingga mandiri dan mampu membeli mesin sendiri. Pada akhirnya dia mahir mendekorasi dan menciptakan produk kamar pengantin, hingga lenen rumah tangga yang lain. Warnanya adalah biru, mencerminkan penyayang dan keseriusannya dalam memilih warna hidupnya.
      Demikian pula halnya dengan saudara saya yang lain. Mereka memilih membantu Mak dan Ayah, dengan mengorbankan pendidikan. Namun, tak pernah mengorbankan minat dan bakat. Bagi mereka minat dan bakatlah yang menyemangati dalam mengejar prestasi. Hidup terasa mudah apabila telah memilih warna yang tepat. Ternyata mereka masih mampu melanjutkan sekolah Paket Belajar Masyarakat, juga memperoleh ijazah dan sertifikat di samping mencoba menolong keluarga dan dirinya.
       Nah, apa yang terjadi dengan saya? Seorang Rahmawati Anwar, yang dibasuh pengorbanan Mak agar mampu bernafas pula di dalam hidup ini. Padahal kandungan Mak sangat lemah saat saya masih di dalam kandungannya. 1989, saat perayaan proklamasi ternyata Allah memberikan saya kesempatan pula untuk hidup.
      Udara Banda Aceh beraroma keringat para pelomba panjat pinang. Kegembiraan seluruh masyarakat tanpa sengaja pula turut menyambut seorang bayi bernama  Icuet Gusniati. Tetapi sayang, nama itu tak berumur panjang. Tidak mencapai dua tahun masanya. Dia lebih terkenal dengan sebutan Dek Biet. Ya, sampai hari ini umurnya dua puluh dua tahun, masih terjuluki demikian rupa.
     Tatkala dilema keluarga menyeruak masa kecilnya, dia mendadak ‘sok dewasa’. Mendadak dangdutan dengan lirik yang sedikit banyak berbeda, “sok tidur sendiri, sok makan sendiri, sok nyuci baju sendiri, sok berbicara sendiri (nah, loh?).”
     Ya, saya berbicara sendiri. Namun, tidak sampai pada taraf kurang waras. Akan tetapi, saya menyendiri di atas genting. Curhat dengan angin, bahkan hujan. Umur tiga tahun kala itu, kebetulan saya telah mampu membaca dan menulis, meski tulisan di bawah garis kemiskinan alias masih belum layak menjadi tukang tulis surat cinta. Sangat tidak indah (bahkan) bila dipandang melalui ujung sedotan, pada zaman globalisasi ini. Saya sering menangis bersama berlembar – lembar kertas. Di atasnya saya nukilkan tentang kemalasan bermain, kesedihan menatapi air mata Mak yang diam – diam mengiba dalam segala sepinya, dan segalanya saya tuliskan. Saya meronta sendiri, berjibaku pada genting yang terteduhi dedaunan mangga.
      Ayah hanya mampu menyekolahkan saya hingga kelas empat sekolah dasar, dua tingkatan lagi adalah jerih payah para kakak dan abang. Selepasnya, Ayah dan Mak pesakitan. Tak mudah bagi saya untuk menceritakannya di sini. Perih. Yang jelas, ujian Tuhan untuk menilai keikhlasan dan kesabaran keluarga kami sangat tidak ringan kala itu.
      Sedari kecil raga saya sangat rentan dengan sakit, entah mengapa? Saya hidup sampai sekarang adalah dengan semangat. Mungkin saja saya memilih merah dalam warna hidup saya, namun kadang kala saya sangat lemah bersama warna coklat. Mungkin merah berbaur dengan coklat, menjadi bata.
      Saya tak sanggup apabila kata ‘putus sekolah’ menunjuk saya tepat di ujung lirikan mata. Hasrat hati teramat sangat ingin menjunjung keluhuran nama keluarga. Mulailah saya menjadi pengasuh cilik, mengasuh anak kecil yang sepi ditinggali orang tuanya bekerja. Biaya mengasuh yang tidak seberapa saya tabung untuk melanjutkan sekolah menengah pertama. Sangat disayang, dana yang terkumpul untuk biaya SPP caturwulan pertama hilang bersama dompet kumuh, dari dalam tas. Mengiris hati, saat saya lihat dompet tergeletak di pinggir tong sampah belakang kantin sekolah.
      Ternyata keesokan harinya rekan saya mengalami hal serupa. Ada warga sekolah yang kurang bijak dalam memaknai kata hak milik orang lain, sehingga bebas mengambil seenaknya. Bukan ini yang hendak saya ceritakan, teman. Namun, yang hendak saya tegaskan bahwa masih banyak orang di dunia ini yang tak mudah mengenyam pendidikan. Bahkan melepaskan masa kecilnya dari bermain hanya untuk menduduki kursi ilmu pengetahuan. Maka, jangan sia – siakan pengorbanan orang tua teman sekalian.
      Prestasi di sekolah sangat memuaskan, namun teramat susah mencari beasiswa pendidikan kala itu. Berdagang kecil – kecilan membuat saya akhirnya sedikit puas karena mampu memperoleh ijazah SLTP.
      Apakah sebatas SLTP? Tidak. Saya hampir saja hilang semangat hidup, ketika teman – teman yang lain disibukkan dengan pendaftaran sekolah lanjutan. Saya  hanya dapat tersenyum memandang bias kebahagiaan mereka. Saya sangat keras kepala, merajuk bersama kertas – kertas usang. Menulisi kesedihan. Betapa tidak ingin hal yang sama dengan saudara saya lain menimpa saya. Saya sangat tak ingin terputus di tengah jalan, tersesat di hutan. Entah apa cita – cita saya saat itu? Yang jelas di dalam benak dan pikir hanyalah sekolah dan sekolah saja.
      Si Kakak tak tega, dengan tabungan kerjanya untuk biaya berobat ayah kala itu, yang harus dioperasi, diambil sedikit untuk biaya pendaftaran saya. Saya bingung memilih sekolah umum atau kejuruan. Alhasil dipaksa kepada kejuruan. Walau hati saya sangat ingin di sekolah umum. Belum ada kejelasan kala itu, entah mengapa?
      Tiga bulan pertama saya bersekolah dengan tidak menyenangi hari – hari sekolah. Karena keadaan sekolah kejuruan terasa aneh dari sekolah biasanya. Lambat laun baru saya mengerti, bahwa sekolah kejuruan adalah sekolah yang setara dengan perguruan tinggi. Ternyata jiwa saya adalah dalam bidang seni ketataan bahasa dan busana. Sekolah menekankan pendidikan keahlian, pendidikan umum, dan project work yang dibarengi dengan prakerin (magang/praktek kerja industri). Pendidikan keahlian berupa teori dan praktikum kejuruan, pendidikan umum yang melebihi sekolah umum (sekolah kejuruan menganut mata pelajaran umum baik IPA dan IPS), dan project work yang tidak kalah dengan tugas akhir (skripsi perguruan tinggi) yang ‘memabukkan’.     
      Sekolah kejuruan mengajarkan  saya hidup bijak dan dewasa, yaitu bekerja sembari mencari ilmu dengan kesenangan diri. Saya mampu mengenal warna hidup saya karena sekolah kejuruan, di mana minat dan bakat saya adalah dalam bidang bahasa dan tata busana. Menulis dan mendesain. Berkisah dan meluangkan ide ke dalam pruduk pakai.
       Ternyata warna hidup saya adalah biru. Melambangkan cerah di balik mendung. Kesedihan yang teramat dalam akan mampu tertutupi oleh semangat menuju bahagia memandang senyum mak dan ayah. Saya hendak membuktikan, bahwa saya akan berusaha mampu bangkit, sendiri, meski tertatih. Selama jalan belum buntu, saya akan berusaha. Meski pun sakit terus melanda.
      Lulus sekolah kejuruan saya mendapatkan undangan perguruan tinggi negeri di Banda Aceh, dibarengi dengan beasiswa pendidikan ke Bogor dengan jaminan kerja yang layak di sana. Betapa pilihan yang membingungkan, di samping saya ingin meneruskan cita – cita, namun biaya tidak memungkinkan dan kesehatan tidak menjamin untuk bepergian. Kuasa Sang Penolong, meski keluarga sempat tak mengizinkan. Tahun 2007 saya berdomisili di Kota Hujan tersebut, mencari ilmu dan pengalaman. Meski setelahnya pekerjaan telah di depan mata, ridha orang tua adalah paling utama. Orang tua tak mengizinkan saya terlalu lama di rantau. Bukan karena tidak sayang, namun karena khawatir terhadap kesehatan saya.
     Akhirnya saya putuskan untuk kembali dengan bekal pengalaman dan ilmu yang sangat berarti, meski belum seberapa. Mungkin garis pendidikan saya masih tertulis di Aceh, dunia luar Aceh hanya jalan – jalan, rekreasi sesaat (hehe).
      2008, saya tercatat sebagai mahasiswi reguler Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala. Program keahlian PKK Tata Busana. Betapa indah meniti pendidikan dengan keinginan hati, walau tak mudah namun tetap berupaya mempertahankan. Betapa elok bila suatu saat toga terpakai karena usaha sendiri. Pekerjaan rumit terasa menyenangkan meski kadang kala keluhan sedikit terpatri di  balik peluh. (Alhamdulillah 'ala kulli haal, awal 2013 saya wisuda dengan membawa pulang plakat cum laude di tangan, sebagai oleh-oleh perjuangan).
     2009, saya mengenal Forum Lingkar Pena Aceh. Di mana kepingan hati saya ternyata pula ikut tertambat di sana. Karena FLP saya ingin berbakti, berkarya, dan berarti. Berbagi warna kehidupan. Meski dikejar dengan waktu yang di ujung tanduk, dalam beberapa tugas. Akan tetapi saya ingin sedikit berbagi, agar temans sedikit mampu memilih warna kehidupannya. Warna apa yang akan teman gelar dalam hidup ini? Selamat memilih. :) #terusBersabar #terusBersyukur #AllahBesertaHambayangSabarSyukur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

8 Irama Bacaan Al-Qur’an

doc.animasipro | Rahma An *galeri Membaca Al-Qur’an dengan irama atau suara yang merdu dikenal dengan tilawah Al-Qur’an. Tilawah sudah dikenal sejak lama, yaitu membaguskan intonasi bacaan Alquran dengan menyertakan hati yang khusyuk. Membaca Alquran dengan indah akan lebih mudah dalam mendalami maknanya. Banyak pendapat ulama bahwasanya tilawah bukan sekadar membacanya dengan tartil, akan tetapi juga harus sesuai tajwid, makhraj, dan menyesuaikan dengan hukum bacaan. Tilawah adalah amalan yang dianjurkan, karena Allah menyukai orang yang membaguskan bacaan Qur’an-nya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Muhammad sallallahu alaihi wasallam pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an, Nabi berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari, Muslim) Seni suara dalam membaca Al-Qur’an telah turun-temu...

BERSEMADI 20 Hari : Belajar dari Semut

Berawal dari salah seorang anggota di grup komunitas, yang membagikan informasi tentang adanya program BERSEMADI (BERkarya SElama raMAdan di blog pribaDI) oleh FLP Surabaya. Sembari melakukan aktivitas lain sebagai seorang istri, selama di rumah saja, dan ada beberapa program lainnya juga melalui daring. Saya ikut berpartisipasi dalam agenda BERSEMADI, setidaknya sambil rutin mengisi blog dan berbagi tulisan baik. Sebelumnya melalui proses pendaftaran dan sejenak melakukan diskusi, sebagai syarat keberlanjutan dan kelancaran program, bersama panitia. Menulis dengan tema yang ditentukan dan sama setiap harinya, harus disetor dengan batas waktu, selama dua puluh hari berturut-turut tidaklah mudah. Jauh lebih mudah ketika menulis dengan tema yang bebas dan tidak terikat, karena topik pembahasan yang sama selama hampir sebulan itu akan membuat pusing di antara kesibukan lainnya. Namun, semangat dan antusias teman-teman yang mengikuti adalah cambuk bagi kita semua untuk menuntas...

Jenazah Positif COVID-19 Najiskah?

Tagar di rumah saja menjadi populer di berbagai penjuru media sosial saat ini, di tengah-tengah masih pro-kontranya masyarakat yang berusaha waspada atau yang terlalu santai. Covid-19 tak bisa dianggap angin lalu, wabah ini makin ke sini kian serius. Namun, bagaimana sikap terhadap pasien yang dinyatakan positif Corona ini? Ada beberapa komentar yang bergeming, bahwa penanganan pasien positif dianggap terlalu melebih-lebihkan seolah pasien tersebut najis. Jumlah penderita terinfeksi Virus Corona makin bertambah, ada yang berhasil sembuh dan bahkan meninggal dunia. Pihak medis Indonesia yang belum sempurna siap, baik dari segi alat maupun fasilitas yang ada, mengerahkan segala kemampuan mereka mempertaruhkan nyawa bahkan, sebagai garda terdepan. Tugas masyarakat adalah membantu mereka dengan ikut andil menghindari keramaian sebagaimana wacana dari pemerintah setempat, kecuali sangat perlu untuk ke luar (dengan kehati-hatian). Namun, masihkah ada yang belum mengetahui jelasnya ten...